BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Kebudayaan adalah suatu hasil karya rasa dan cipta
masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan. Rasa yang
meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial
yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta
merupakan kemampuan berfikir masyarakat. (Soerjono Soekanto, 1982:151). Rasa merupakan upaya manusia untuk melindungi
diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang ada dimasyarakat. Untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan buruk manusia terpaksa menciptakan kaidah-kaidah atau norma-norman..
Politik memiliki banyak pengertian yang berbeda jika
dilihat dari berbagai pendekatan. Dari sudut pendekat kekuasaan politik
dipahami sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari, mendapatkan,
melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan (Suwarno,2012:8). Sedangkan
kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai Kemampuan seseorang atau . sekelompok
orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar sesuai dengan keinginan
dan tujuannya (Suwarno,2012:24)
Orang yang ingin mencapai kekuasaan dan
mempertahankan kekuasaan haruslah menciptakan kaidah-kaidah dan menjadikan
kaidah-kaidah tersebut sebagai sebuah habit
atau kebiasaan dalam masyarakat sehingga dapat mencapai dan melanggengkan
kekuasaanya. Sehingga dapat dikatakan dengan kata lain mereka menggunakan
kebudayaan yang aspeknya begitu luas untuk melegitimasi kekuasaan mereka.
Penggunaan kebudayaan sebagi sarana legitimasi lebih mudah dibandingkan dengan
cara kekerasan hal ini dikarenakan kebudayaan adalah sesuatu yang melekat pada
masyarakat dan tididak dapat dipisahkan dalam masyarakat. Penggunaan kebudayaan
sebagai sarana legitimasi kekuasaan dapat diibaratkan memaksa dengan cara yang
halus.
Pemakaian kebudayaan sebagai sarana legitimasi
kekuasaan sudah terjadi sejak lama. Kebudayaan sebagai sarana legitimasi sudah
dipergunakan sejak berdirinya kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Kerajaan
sengaja menciptakan kaidah-kaidah yang berisi upaya melangengkan kekuasaan yang
kelak akan membiasa dalam kehidupan masyarakat. Sistem politik tradisional yang
menggunakan kebudayaan sebagai alat legitimasi yang paling dominan yang bisa
kita lihat sekarang adalah di Jawa.
Jawa memiliki sebuah peradaban besar dengan banyak
kerajaan-kerajaan. Namun dari sekian banyak kerajaan Mataramlah yang masih
Berjaya dan masih eksis
ditengah-tengah masyarakat walaupun tidak dalam bentuk yang utuh. Dalam
sepanjang sejarahnya kerajaan Mataram selalu terlibat dalam usaha-usaha
mengunkuhkan diri sebagai pusat kekuasaan. Hal ini disebabkan karena beberapa
faktor. Pertama karena Mataram selalu
merasa terancam oleh kekuasaan kekuasaan lain disekitarnya. Perasaan peranacam
ini muncul karena Mataram memperoleh kekuasaan dengan cara berperang seperti
halnya Mataran yang meruntuhkan Pajang. Yang
kedua karena Mataram memandang kekuasaan sebagai ketunggalan yang utuh dan
bulat. Oleh karena itu selama kebulatan dalam kekuasaan dipandang belum utuh
Mataram akan terus memperkuat diri.
(G.Moedjanto,1987:28)
Seiring perjalananya mataram tidak mampu memperkuat
diri dan menjaga keutuhan kekuasaan. Konflik justru terjadi dalam diri
kerajaan. Konflik semakin tajam saat kedatangan VOC hingga wilayah Mataram pun
terbagi-bagi. Dari perjanjian Giyanti kerajaan Mataram terpecah mejadi dua
yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Setelah pembagian kekuasaan ini Kasusnanan Surakarta masih
harus terpecah lagi menjadi dua dengan berdirinya Mangkunegaran.
Mangkunegaran dalam perpolitikan Jawa memiliki
sebuah keistimewaan karena berdirinya Mangkunegaran dengan jalan perjuangan.(
Riclefs, 1991) Mangkunegaran berdiri karena penandatanganan perjanjian Salatiga
tahun 1757 setelah Raden Mas Said melakukan perlawanan dan berhasil mengalahkan
satu kelompok pasukan VOC. Dari perjanjian tersebut disepakati Raden Mas Said
mendapatkan sebagian wilayah dari Keraton Surakarta.
Walaupun sebuah kadipaten yang sebenarnya berada
dibawah Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran mampu menunjukan eksistensinya
hingga saat ini. Terbukti Mangkunegaran memiliki beberapa kelibihan dibanding
Kasunanan Surakarta. Mangkunegaran juga
mengembangkan sayap kekuasaanya kedalam bidang perekonomian. Terbukti banyak
tanah-tanah mangkunegaran yang digunakan untuk perkebunan tebu. Mnagkunegaran
juga memiliki perusahaan-perusahaan gula seperti halnya yang ada di Colo Madu.
Kebenaraan Mangkunegaran yang masih eksis hinggga saat ini tidak lepas dari
implikasi legitimasi Mangkunegaran dalam unsure-unsur kebudyaan. Namun unsure
kebudayaan yang dapat mencerminkan sifat khas sebuah kebudayaan dan bentuk
legitimasi kekuasaan hanya dapat dilihat dengan jelas dalam unsure-unsur yang
terbatas terutama melalui bahasa, kesenian dan upacara
2. Rumusan
Masalah
2.1.
Bagaimanakah Mangkunegaran melanggengkan
kekuasaanya?
2.2.Bagaimanakan
bentuk legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang dilakukan Mangkunegaran ?
2.3.
Bagaimanakah reaksi maasyarakat terhadap legitimasi kekuasaan melalui
kebudayaan yang dilakukan oleh Mangkunegaran?
2.4.
Bagaimanakah dampak Legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan terhadap aktivitas
krbudayaan masyarakat?
3. Tujuan
3.1.Mendiskripsikan
cara Mangkunegaran melanggengkan kekuasaanya.
3.2.Menjelaskan
bentuk legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang dilakukan Mangkunegaran
3.3.Menjelaskan
reaksi maasyarakat terhadap legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang
dilakukan oleh Mangkunegaran
3.4.Menelaskan
dampak Legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan terhadap aktivitas krbudayaan
masyarakat.
4. Fokus
Kajian
Mataram menjadi kerajaan yang memiliki eksistensi
yang tinggi diantara kerajaan-kerajaan lainya dipulau Jawa. Buktinya hingga
saat ini sistem kerajaan tersebut masih ada walaupun sudah terpecah-pecah
kedalam kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bentuknya. Namun kerajaan-kerajaan
tersebut masih berdiri dan memiliki wilayah kekuasaan dan kewenanganya
masing-masing. Termasuk didalamnya ada Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta dua bagian dari kerajaan Mataram yang terpecah akibat perjanjian
Giyanti. Ada pula Mangkunegaran Yang merupakan sebuah kadipaten dibawah
Surakarta yang memberontak dibawah pimpinan Raden Mas Said. Dan kemudian
diberikan wilayah dibawah Kasunanan Surakarta karena perjanjian Salatiga.
Perjanjian Salatiga adalah sebuah perjanjian taktik Belanda
untuk menghadapi perlawanan Raden Mas Said yang cukup tangguh. Raden Mas Said
terpaksa harus tunduk dan mau berunding dengan Belanda karena ia menghadapi
tiga kekuatan sekaligus yaitu Belanda, Surakarta dan Yogyakarta. Dalam
perjanjian ini disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat sebagian wilayah
keraton Surakarta. Selain itu pihak Belanda juga mengangkat Raden Mas Said
sebagai penguasa di wilayah tersebut.
Mangkunegaran dalam perpolitikan Jawa memiliki
sebuah keistimewaan karena berdirinya Mangkunegaran dengan jalan perjuangan(
Riclefs, 1991). Karena berdiri dengan jalan perjuangan melawan Belanda,
Surakarta, dan Yogyakarta. Karena berdiri dengan cara revolusioner yaitu
melalui pemberontakan Mangkunegaran harus menerima beberapa perlakuan tidak
adil atau Pendiskriminasian atas keberadaanya. Perlakuan ini terlihat
dari beberapa hal misalnya saja penyebutan Puro buakn Keraton untuk istana
mangkunegaran, selain itu gelar raja Mangkunegaran bukan raja melainkan hanya
pangeran.
Mangku
negaran memiliki cara tersendiri untuk melanggengkan kekuasaanya hal ini dapat
dilakukan dengan Melakukan Legitimasi Kekuasaan. Legitimasi kekuasaan
adalah usaha mengukuhkan kedudukanya agar dapat diakui dalam masyarakat. Upaya
legitimasi ini sudah sering dilakukan Raja-raja Keraton Mataram. Upaya untuk
mengukuhkan kekuasaan ini disebabkan beberapa Faktor. Pertama karena ada banyak
kekuasaan kekuasaan lain selain di Mangkunegaran seperti Kasunanan Surakarta,
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Yang kedua karena adanaya perasaan
terancam oleh kekuasaan kekuasaan lain disekitarnya. Perasaan terancam muncul
karena Mangkunegaran memperoleh kekuasaan dengan cara berperang yaitu dengan
berperang dengan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Belanda.
Dalam upaya melakukan legitimasi kekuasaan
Mangkunegaran menggunakan Kebudayaan yang ada dalam masyarakat sebagai alat
Legitimasi agar keberadaanya selalu eksis. Karena kebudayaan sifatnya selalu
melekat dalam masyarakat dan unsure-unsurnya sangatlah luas maka Pihak mangkunegaran
menyisipkan unsure-unsur legitimasi dalam unsure-unsur kebudayaan
masyarakatnya. Seperti dengan menggunakan tembang-tembang atau hasil kebudayaan
lainya. Selain itu Legitimasi kekuasaan juga dilakukan dengan pemberlakuan unggah-unnguh bahasa atau
tingkatan-tingkatan dalam bahasa. .
Karena adanya dua Versi kebudayaan yang dijadikan
alat masing-masing piak untuk menyalurkan aspirasinya dan sebagai alat encapai
tujuan maka akan terjadi Disintegrasi dalam Kebudayaan.
Kebudayaan masyarakat Mangkunegaran yang awalnya sama kemudian berubah dan
terpecah untuk mewujudkan keinginan masing-masing pihak. Selain itu juga
terjadi persaingan kebudayaan sebagai upaya menandingi kebudayaan keraton lain
dalam hal ini adalah upaya menandingi kasunanan Surakarta.
5. Tinjauan
Pustaka.
Kebudayaan adalah suatu hasil karya rasa dan cipta
masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan. Rasa yang
meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial
yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta
merupakan kemampuan berfikir masyarakat. (Soerjono Soekanto, 1982:151).
Kebunydayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.
Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti
kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan lainya. Selain itu, manusia dan masyarakat
memerlukan pula kepuasan, baik dibidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan
tersebut diatas dapat dipenui melalui kebudayaan. (Soerjono Soekanto, 1982:155)
Politik dapat diartikan dengan lima pendekatan.
Pertama Pendekatan klasik yang memandang politik sebagai usaha yang dilakukan
oleh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua,
pendekatan kelembagaaan melihat politik sebagai segala hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negera. Yang ketiga pendrekatan
fungsional, politik adalah kegiatan merumuskan kebijakan umum. Keemepat,
Pendekatan Konflik politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau
mempertahankan sumber-sumber daya politik yang dianggap penting, Yang terakir
adalah pendekatan kekuasaan politik dipahami sebagai segala kegiatan yang
diarahkan untuk mencari, mendapatkan, melaksanakan, dan mempertahankan
kekuasaan (Suwarno,2012:8)
Sedangkan kekuasaan sendiri adalah Kemampuan
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar
sesuai dengan keinginan dan tujuannya . Sedangkan kekuasaan politik sendiri
dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mempengarui proses pembuatan kebijakan public,
terutama yang dilakukan oleh penguasa demi tujuan kepentingan sendiri.
(Suwarno,2012:24). Menurut Benedict Anderson dalam Fachry ali ada empat hal
yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif Jawa diantaranya
Kekuasaan itu kongkret, Kekuasaan itu homogen, Jumlah kekuasaan dialam raya itu
tetap dan kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. (Fachry ali, 1986:25)
Dinasti Mataram selalu merasa dirinya terancam oleh
kekuasaan oleh pusat-pusat kekuasaan lain. Oleh karena itu dinasti Mataram
terlibat dalam usaha terus menerus untuk mengukuhkan dirinya, Disamping itu
Mataram juga memandang kekuasaan sebagai suatu ketunggalan yang utuh dan bulat.
Artinya kekuasaan itu tidak boleh terbagi karena itu sepanjang konsep kekuasaan
itu belum menjadi kekuasaan dinasti akan terus memperkuat diri.
(G.Moedjanto,1987:28)
Akibat usaha-usaha ini Mataram selalu berusaha
menaklukan wilayah-wilayah lain. Karena cara memperoleh kekuasaanya dengan
menaklukan wilayah-wilayah lain maka ada beberapa wilayah yang berusaha melepaskan
diri dianratanya adalah Mangkunegaran sebuah kadipaten yang dipmpin oleh Raden
Mas Said yang berusaha untuk melepaskan diri dan memperoleh Wilayah. Berkat
kegigihan mereka lewat perjanjian Salatiga berdirilah Mangkunegaran sebagai
sebuah wilayah yang kedudukanya sama dengan Surakarta dan Yogyakarta.
***
BAB II
GAMBARAN UMUM
1. Mangkunegaran
Konsep
tentang Mangkunegaran sangat luas ada yang berpendapat jika Mangkunegaran
adalah kadipaten dibawah Kasunanan Surakarta ada yang berpendapat sebagai suatu
kawasan yang meliputi daerah-daerah tertentu dan ada yang menyebutkan jika
mangkunegaran adalah kerajaan dibawah Kasuanan Surakarta yang memiliki otonomi
sendiri.
Mangkunegaran mengacu pada dua
konsep, yang pertama adalah sebagai sebuah unit pemerintahan, sebagai sebuah
unit pemerintahan Mangkunegaran adalah sebutan bagi praja atau kerajaan kecil
atau kadipaten besar yang didirikan oleh Raden Mas Said yang kemudian menjadi
raja mangkunegaran yang pertama dan bergelar Mangkunegara I. Yang kedua mengacu
pada suatu unit wilayah, sebagai suatu unit wilayah Mangkunegaran terdiri dari
kota praja dan daerah diluarnya yang sebagian besar terdiri dari pedesaan.
(Wasino,2008:11)
Mangkunegaran
beridiri karena penandatanganan Perjanjian Salatiga oleh Raden Mas Said pada 17
Maret 1757. Dan Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai raja pertama dengan
Gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I. Mangkunegaran
merupakan kerjaan yang Istimewa dikarenakan beberapa hal, pertama karena kerajaan ini berkat perjuangan Raden Mas Said bukan didapat melalui keturunan.
Pemberontakan yang dilakukan Raden Mas Said untuk mendapatkan kekuasaan yang
bebas lepas dari campur tangan VOC merupakan pemberontakan yang paling hebat.
“Selama
kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Mas Said telah melakukan pertempuran
sebanyak 250 kali. Termasuk tiga pertempuran dasyat periode 1752-157. Yaitu
pertempuran melawan Mangkubumi , pertempuran melawan dua detasemen pasukan VOC
dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beimen, yang terakir adalah
penyerbuan benteng Vandeburg Yogyakarta.” (Revolta, 2008:137)
Kedua
Mangkunegaran merupakan kerajaan yang bisa bertahan walaupun Belanda berkuasa
di Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Riclefs :
“Diantara
semua kerajaan , Mangkunegaran lah yang paling berhasil menyesuaikan diri
dengan keadaan baru pada masa kekuasaan Belanda. Mungkin penting dicatat bahwa
inilah juga satu-satunya istana dimana tradisi militer bangsawan Jawa tetap
hidup, sekalipun dibawah kekuasaan Belanda.” ( Riclefs, 1998:194)
Ketiga
Magkunegaran merupakan keraton yang memiliki perusahaan sendiri. Mangkunegaran
mengembangkan usaha dalam bidang perkebunan dalam hal ini adalah perkebunan
Kopi dan Gula yang pada saat itu memang merupakan komoditi perdagangan yang
laku diparasan dunia. Sistem pengelolaan perkebunan ini juga meniru gaya Eropa.
“
Mangkunegaran juga mengembangkan tanaman-tanaman perkebunan yang luas,
khususnya untuk komoditi kopi dan gula. Landasan untuk perekonomian ini
diletakan oleh Mangkunegara IV. Dia menerapkan teknik-teknik pengelolaan dan
eksploitasi Eropa, tetapi dengan perbedaan yang penting bahwa
keuntungan-keuntunganya di tanamkan kembali ke daerah kekuasaanya dari pada
dikirim ke luar negeri.”
( Riclefs, 1998:194)
Yang keempat adalah kedudukan
Mnagkunegaran yang dianggap sebagai penyeimbang kekuatan politik Surakarta dan
Yogyakarta.
Dengan
Demikian dalam percaturan politik Jawa, Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta
harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan politik meskipun
diatas kertas, kedudukan Mangkengaran dibawah keraton atau sebagai sebuah
kadipaten. (Kresna, 2011:157)
Namun kedudukan Mangkuneragan
sebgai sebuah Kadipaten dapat berubah setelah penandatanganan perjanjian
Salatiga pada 17 Maret 1757 yang isi utamanya adalah mengkat Mangkengara selaku
pemimpin Mangkunegaran sebagai Adipati
Miji (adipati yang mandiri) yang pangkatnya sejajar dengan Sunan ataupun
Sultan. Setelah penandatanganan perjanjian mulai berdirilah Pura Mangkunegaran
sebagai pusat kegiatan di Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran terletak di di
Kelurahan Keprabon RT. 20 Kecamatan Banjarsari, Surakarta dengan luas tanah
302,50 x 308,25 m atau 9.345.625 m2. Berbatasan dengan, sebelah selatan adalah
jalan Ronggowarsito; bagian barat dengan jalan Kartini, timur dengan jalan
Teuku Umar, dan sebelah utara dengan jalan R.M. Said.
2. Kebudayaan
Herkovits dalam Soerjono mengungkapkan jika
kebudayaan sebagai sesuatu yang kekal
dan tidak akan hilang karena kebudayaa akan mengalami regenerasi baik itu
disengaja maupun tidak disenagaja
Kebudayaan
sebagai super-organic hal ini dikarenakan kebudayaan yang turun temurun dari generasi
kegenerasi selanjutnya terus hidup , walaupun orang-orang yang menjadi anggota
masyarakat senantiasa berganti disebabkan karena kelahiran dan kematian
(Herkovits dalam Soerjono, 1982:150)
Koentjaraningrat
mendifinisikan kebudayaan sebagai :
Keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat,
2002:180)
Jadi
didapat pengertian jika kebudayaan menurut Koentjaraningrat lingkupnya lebih
luas mencakup tiga unsure yang pertama berupa ide atau gagasan yang kedua
berupa unsure tindakan yang kemudian dapat menjadi kebiasaan jika tindakan
tersebut dillakukan berulang-ulang yang kemudia dapat terinternalisasi dalam
sistem sosial yang ketiga tentulah wujud kebendaan karena merukan hasil karya
manusia
E.B Taylor dalam Soerjono Soekanto mengungkapkan
Jika kebudayaan sebagai sesuatu hasil
interaksi berulang yang dipelajari dalam masyarakat. Kebudayaan merupakan
aturan-aturan normative yang dapat mendisiplinkan kehidupan masyarakat. Selain
itu kebudayaan adalah upaya adaptasi kelompok masyarakat agar tetap dapat
bertahan dalam masyarakat
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan
, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.( Soerjono,
1982:150
Selo sumarjan dan Soeleman Soemardi
merumuskan jika: kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya menghasilkan tenologi
kebendaan atau material culture. Rasa yang meliputi jiwa menghasilkan
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.
Cipta merupakan, baik teori murni atau yang telah disusun untuk diterapkan
dalam kehidupan masyarakat.
Jadi dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan jika kebudayaan adalah Hasil cipta,rasa,dan karya anggota masyarakat
yang mencakup pengetahuan , kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang akan terus hidup kekal dalam
masyarakat.
Kebudayaan memiliki beberapa unsure
didalamnya. Unsur itu meliputi sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem
mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan
dan religi. ( Soerjono, 1982: 154). Dimana semua unsure ini pasti ada dalam
kehidupan masyarakat dan merupakan hasil belajar dalam masyarakat. Semua unsure
kebudayaan dapat dipandang melalui tiga wujud kebudayaan yaitu ide, sistem
sosial dan benda.( Koentjaraningrat,
2002:189)
3. Politik
Emha Ainun Najib dalam artikelnya yang dimuat dalam
buku Dinamika budaya dan politik dalam pembangunan mengungkapkan jika politik
adalah suatu kegiatan yang menyangkut kelompok-kelompok sosia, bangsa,mungkin
kelas atau bentukan grup sosual lain yang bergerak tawar menawar menentukan
penciptaan dan penguasaan kekuasaan.
Politik memiliki banyak pengertian yang berbeda jika
dilihat dari berbagai pendekatan. Dari sudut pendekat kekuasaan politik
dipahami sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari, mendapatkan,
melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan. Jika dipandang melalui pendekatan
klasik politik adalah usaha yang dilakukan oleh warga Negara untuk membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama .Pendekatan kelembagaan melihat politik sebagai
hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan atau Negara.Pendekatan
fungsional mengartikan politik sebagai kegiatan
untuk merumuskan kebijakan umum. Pendekatan konflik memaknai politik sebagai
konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber-sumber daya politik
yang dianggap penting. (Suwarno,2012:8).
Sedangkan kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai Kemampuan
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar
sesuai dengan keinginan dan tujuannya. (Suwarno,2012:24). Kekuasaan merupakan kekuatan yang sah untuk
dapat memimpin, mengkoordinasi, mengelola, tingkah laku individu atau
sekelompok orang untuk ditujukan sesuai dengan harapan sang empunya kekuasaan.
Dalam perkembangan selanjutnya politik dan elit
politik sebagai subyeknya selalu memerlukan saluran-saluran tertentu untuk
menanamkan ideology mereka dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.
Perkembangan selanjutnya poltik mulai menginfiltrasi dalam berbagai
bidang-bidang kehidupan termasuk melalui kebudayaan. Kebdayaan merupakan bagian
dari masyarakat yang tidak akan hilang dan selalu mengalami regenerasi. Kekalan
kebudayaan inilah yang dapat digunakan para elite politik termasuk raja-raja
keraton untuk melanggengkan kekuasaanya.
***
BAB
III
DELIMITASI
MANGKUNEGARAN
Delimitasi
berasal dari bahasa Inggris Delimit yang artinya membatasi. Dalah hal ini
Membatasi kekuasaan atau kewenangan seseorang atau sekelompok orang. Karena
Kewenangan atau kekuasaan pada hakekatnya harus dibatasi agar tidak mengganggu
atau merugikan kekuasaan-kekuasaan lain.
Sebagai
sebuah kerajaan yang dibangun dengan cara pemberontakan, Mangkunegaran memiliki
otonomi untuk mengatur wilayah dan kekuasaanya sendiri tanpa terikat dengan
Keraton Surakarta maupun Yogyakarta namun Mangkunegaran tentu saja dibatasi
dalam kewenanganya dengan tujuan agar Mangkunegaran sebagai sebuah kerajaan
kecil tidak melakukan dominasi politik dan menyaingi kekuatan politik dua
kerajaan besar di Jawa pada masa itu.
1. Hanya
Puro bukan Keraton
Salah
satu pembatasan kewenanganya adalah pendirian Kerajaan Mangkunegaran yang tidak
dinamakan dengan Istana atau keraton melainkan hanya dinamakan dengan sebutan
“Puro” .Puro Mangkunegaran pada dasarnya adalah tempat kediaman raja. Secara
arsitektural bangunan Puro Mangkunegaran memiliki cirri yang sama dengan
keraton yaitu memiliki pamedan, pendopo, pringgitan, dalem,
dan kaputran, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok
yang kokoh. Keterbatasan wewenang antara
Kasunanan dan Mangkunegaran juga memiliki perbedaan diantaranya Pura
Mangkunegaran tidak memiliki alun-alun, gajah dan beringin.
Alun-alun merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa. Alun-alun
digunakan sebagai tempat berkumpul masyarakat dan tempat masyarakat
membicarakan sesuatu hal yang penting
dengan pempinan mereka. Selain itu alun-alun juga tempat
diselenggarakananya berbagai ritual adat yang mendongkrak popularitas dan wibawa
para bangsawan kerajaan. Alun-juga merupakan pusat kekuatan kerajaan
“Keraton diapit alun-alun yaitu alun-alun utara dan
selatan. Di zaman lampau kedua alun-alun mempunyai arti penting sekali bagi
Negara karena disitulah tempat yang akan menentukan kekuatan Negara, sebab
ditempat inilah prajurit dan para perwira berlatih dalam menggunakan senjata
dalam pertempuran seorang melawan seorang dan berlatih menyerbu barisan berkuda
dan lain-lain cara yng berkaitan denga kepentingan perang.” ( Purwadi,
2008: 43)
Dengan
ketiadaan alun-alun ini maka kesempatan rakyat untuk bertemu dengan pemimpinya
dan kesempatan pemimpin untuk bertemu dengan rakyatnya berkurang. Selain itu ketiadaan alun-alun di
Mangkunegaran dimungkinkan untuk membawatasi kekuatan militer Manar tidak
menyerang dan memberontak
2. Raja
hanya bergelar Pangeran
Gelar
merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah sistem kerajaan. Hampir semua kerajaan kuno di indosesia
ketika Penobatan putra mahkota menjadi raja juga terjadi pemberian Gelar baru
pada putra Mahkota tersebut. Dalam masyarakat Jawa pemakaian gelar mempuanyai
efek sosial yang sangat kuat.( Moedjanto, 1987:20) Dengan pemakaian gelar dapat
mengaburkan status sosial masyarakat yang lama sehingga status sosial seseorang
dalam masyarakat dapat terangkat.Sebagai contoh adalah pemakaian gelar yang
sangat panjang oleh raja-raja kerajaan
Mataram sebagai upaya megaburkan identitas nenek moyangnya yang hanya seorang
petani biasa.
Selain itu pemakaian gelar juga dimanfaatkan dan
disesuaikan dengan kondisi politik serta perkembangan gelar dalam masyarakat
sehingga penggunaan gelar dapat digunakan sebagai sebuah upaya legitimasi
kekuasaan.
Dengan Pemakaian gelar-gelar dapat diartikan
upaya untuk membangun sebuah kekuasaan baru. Seperti pada masa kerjaan Mataran
Hindu dimana selalu terdapat perubahan-perubahan pemakaian gelar disetiap
wangsanya. Yang menunjukan adanya pergantian kekuasaan. Sebagai contoh pada
wangsa Sanjaya dimana kerjaan Mataram berpusat di Jawa tengah Rajanya bergelar
“Rakai Mataram sang ratu sanjaya” Namun setelah Mataran berada dibawah
kekuasaan Islam gelar raja pun berubah menjadi Senopati, Sultan, Susuhunan dan
banyak perubahan gelar lainya. Hal ini adalah upaya untuk menunjukan kepada
rakyat jika Mataram sudah berada dibawah kekuasaanan yang baru.
Pada
14 Jumadil Awal 1682 H atau 4 Desember 1757 M diadakan perundingan di
Kalicacing Salatiga dan sejak waktu iti Raden Mas Said dinobatkan menjadi raja
pemimpin Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya
Mangkunegara I. Setelah itu diganti oleh Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya
Mangkunegara II, Dan setelah itu digantikan Lagi oleh Kanjeng Gusti Pageran
Adipati Arya Mangkunegara III. Dan begitu seterusnya hingga saat ini yang
menjabat sebagai mangkunegaran adalah Gusti Raden Mas Sujiwo kusumo dengan
Gelar Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara IX. (Purwadi,2010:
545-567). Dapat disimpulkan sija raja-raja Mangkunegara secara resmi dan
konsisten memakai gelar Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara atau
yang sering disingkat denga KGPAA.
Jika
kita bandingkan dengan pemakaian gelar oleh Pangeran Mangku Bumi yang menjadi
raja Yogyakarta menggunakan gelar Ngarsa Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono Senapati Ing Ngalaga
Khalifatullah Ngabdurrahman Sayiddin Panatagama Ingkang Jumeneng Ing Negari
Yogyakarta Hadiningrat Ingkang Jumeneng Sepisan. Namun karena nama ini
terlalu panjang orang lebih mengenalnya dengan sebutan Sri Sultan Hamengku
Buwono I. (Purwadi, 2008:31). Didapat sebuah perbedaan yang pencolok antara
gelar dua kerajaan yang sebenarnya memiliki kedudukan yang sama tersebut.
Gelar
untuk raja Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya
Mangkunegara. Jika diatrikan secara terpisah dan bebas. Kanjeng Gusti dapat diartikan sebagai Yang Dipertuan atau yang
dianggap sebagai Tuan atau pemimpin. Pendiskriminasian Mangkunegaran terlihat
jelas pada pemakaian Gelar Pangeran. Pangeran
adalah putra raja sedangkan Adipati sendiri adalah adik raja yang menunjukan
kekuasaanya dibawah raja namun mirip dengan raja. (Sesana : 2010). Hal ini
menunjukan kedudukan raja Mangkunegaran berada dibawah atau lebih rendah dari
pada raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowono.
3. Makam
leluhur di Astana Giri Layu
Setiap
kerajaan memiliki daerah tersendiri untuk memakamkan rajanya. Seperti untuk raja-raja mataram yang
dimakamkan di Imogiri. Dimakam imogiri sendiri terdiri dari 8 kelompok lokasi,
dimana terdapat lokasi makam untuk keluarga kerajaan kasunanan Surakarta yaitu
: Kasuwargan Surakarta yang digunakan untuk raja-raja awal kasunanan, Kaping sangan Srakarta digunakan untuk Sri
Susuhunan Pakubuwono ke VI hngga Sembilan, dan Girimulya Surakarta untuk Sri
Susuhunan Pakubuwono X hingga XII.
Sedangkan untuk
makam keluarga Mangkunegaran sendiri di tempatkan di Astana Giri Layu yang
terletak di kecamatan Matesih Kabupaten
Karanganyar. Dari hal ini terlihat delimitasi Mangkunegaran dimana raja-raja Mataram
dan keturunanya seperti Raja Yogyakarta dan Surakarta di Makamkan di Imogiri
sedangkan raja Mangkunegaran di Astana Giri Layu.
BAB
IV
LEGITIMASI
KEKUASAAN MELALUI KEBUDAYAAN
Legitimasi
adalah sebuah upaya untuk melanggengkan sebuah kedudukan atau kekuasaan.
Legitimasi mutlah diperlukann agar sebuah kekuasaan dapat terus eksis dan
diakui ditengah-tengah masyarakat. Dalam
setiap kekuasaan pastilah memerlukan sebuah alat untuk melakukan legitimasi,
untuk kekuasaan Mangkunegara ada beberapa cara untuk melanggengkan kekuasaan
dan menunjukan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat, Diantaranya melalui :
a. Lagitimasi
dalam serat TRIPAMA, Radyaprawito
Serat
Radya Prawito ditulis oleh….. pada tahun…… Dalam serat ini ditegaskan tentang pendirian Mangkunegaran sebagai sebuah
Kadipaten atau daerah dibawah Kerajaan menjadi sebuah kadipaten miji (kadipaten
yang mandiri). Dalam serat ini diajarkan pegangan hidup bagi seluruh masyarakat
Mangkunegaran. Dalam Serat itu dijelaskan sebagai berikut :
“ Menggah wewatoning hadeging
Praja Mangkunegaran puniko dipun wastanai Tri Darma, inggih puniko pakarti
tigang bab ingkang dados gegebenganipun tiyang sak mangkenegaran” (Sunarman, 2010:68)
Yang
Artinya “Adapun pendirian Pemerintahan Mangkunegaran ini dinamankan Tri Darma,
yaitu pekerti yang terdiri dari tiga bab yang menjadi pegangan masyarakat
Mangkunegaran”. Hal ini berarti penceritaan atau pengabaran jika Mangkunegaran
telah berdiri dan menggunakan asas Tri Darma sebagai pegangan seluruh masyarakat
Mangkunegara. Secara tidak langsung dalam serat ini melakukan peguatan
kedudukan Raja agar rakyat Mangkunegaran mengikuti ajaran Raja yaitu Tri Darma
itu sendiri.
Adapun
isi Tri darma dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Mulat
sarisa hangrasa wani
2. Pada
melu handarbeni
3. Hanggondeli
Praja (Sunarman,
2010:68)
Yang
diartikan secara bebas sebagai :
1. Kenalilah
dirimu sendiri jadilah kuat dan pandai. Hal ini menunjukan jika Masyarakat
Mangkunegaran harus mampu mengenali dirinya sendiri dan menjadi kuat dan pandai
agar mampu melepaskan diri dari kekuasaan asing yang menguasai Mangkunegaran.
2. Merasa
Memiliki. Hal ini menungkapkan jika masyarakat Mangkunegara harus merasa
memiliki Mangkunegaran. Dengan adanya rasa memliki masyarakat pastilah akan
melakukan segala hal untuk mempertahankan Mangkunegaran
3. Memegang
kerajaan atau praja. Dengan adanya sikap yang ingin memegang teguh kerajaan
atau praja maka Mangkunegaran akan menjadi kerajaan yang kuat tidak akan jatuh
ketangan penguasa lainya karena secara tidak langsung Raja mengajak rakyat
untuk ikut serta menjaga Mangkunegaran.
Dalam ajaran ini sangat jelas upaya
untuk melanggengkan kekuasaan Mangkunegaran yang sebelumnya telah diperjuangkan
melalui jalan pemberontakan oleh Raden Mas Said. Karena didirikan melalui jalan
kekerasan bukan tidak mungkin Kerajaan ini akan diebut kembali melalui jalan
kekerasa pula. Oleh karena itu secara tidak langsung Raja meminta bantuan
kepada rakyat agar tetap mau mempertahanya Mangkunegran.
Ajaran
Mangkunegaran I terkenal dengan ajaran Tri Darma yaitu Rumangsa Handarbeni,
Rumangsa wajib angrungkepi, mulat sarira angrasa wani. Secara tidak langsung
ajaran ini menghendaki adanya partisipasi aktif rakyat secara langsung dalam
penyelenggaraan Negara. (Purwadi, 2010: 551)
b. Legitimasi
dalam Tarian-tarian Mangkunegaran (Tari bedhaya Anglir Mendung)
Jika
Kasunanan memiliki Tari Bedaya Ketawang sebagai tarian suci, Mangkunegaran juga
memiliki tarian bedaya lain. Yaitu tarian Bedhaya Anglir Mendung. Merupakan
sebuah Tarian Sakral. Tarian ini merupakan tarian Sreimpi. Menurut R.T Warsadiningrat yang dikutip K.G.P.H. Hadwidjojo (1978: 19) dalam bukunya menyatakan jika Anglirmendung
digubah oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I.
Walaupun
usia jauh lebih muda dari tarian Bedhaya, Anglir mendung memiliki beberapa
kesamaan dengan tarian Bedhaya. Persamaan itu terletak pada namanya, Mendung artinya awan hal ini mirip
dengan kata tawang dari kata ketawang yang artinya awan. Selain
itu dipakaianya kemanak sebagai pengiring utama. Yang terakir adalah
pelaksanaan tarian yang dibagi menjadi tiga tahap.
Dengan
adanya tarian bedhaya yang dianggap suci di masing-masing kerajaan ini, maka
jelas ada legitimasi-legitimasi tersendiri dalam tarian, termasuk dalam tarian
bedhaya dimana dalam Anglirmendung
hanya terdapat tujuh penari hal ini untuk membedakan dengan tarian bedhaya
Ketawang milik Kasunanan. Jelaslah jika
Mangkunegaran memiliki upaya-upaya untuk menyamakan diri dengan Kasunanan
dengan memiliki tarian Bedhaya sendiri.
c.
Legitimasi Melalui Gelar saat
menjadi raja
Legitimasi melalui gelar sebenarnya
sudah dilakukan oleh raja-raja keturunan Mataran sebelum terpecah menjadi dua
kerajaan besar dan dua kerajaan kecil Legitimasi kekuasaan melakui gelar ini
peting dilakukan oleh raja-raja karena untuk mengaburkan status sosial
raja-raja yang dikenal sebagai golongan petani. Oleh karena itu raja-raja Mataram
juga memakai gelar-gelar yang panjang-panjang. Gelar untuk raja Mangkunegaran
adalah “Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara. Jika diatrikan secara
terpisah dan bebas. Kanjeng Gusti
dapat diartikan sebagai Yang Dipertuan atau yang dianggap sebagai Tuan atau
pemimpin.”
Hal ini menunjukan jika pemakaian
gelar yang panjang ini untuk melakukan legitimasi kekuasaan. Bahkan untuk
membangun kekuasaan yang baru. Oleh karena ini menggunakan gelar yang panjang
dan berbeda dengan gelar-gelar raja-raja atau gelar kebangsawanan yang lain.
d.
Legitimasi melalui upacara-upacara adat
Perayaan dikalangan kraton
merupakan representasi kraton yang menyedot perhatian public. (Rustopo:
2007). Oleh karena itu untuk menunjukan
eksistensinya kalangan kraton tidak jarang sering melakukan upacara-upacara
adat yang mewah dan megah. Hal ini digunakan untuk menunjukan jika keraton
masih memiliki kekuasaan, paling tidak dalam bidang kebidayaan
Di Mangkunegaran sendiri
sering diadakan upacara-upacara semacam ini, seperti melakukan upacara jamasan
pusaka yang dilakukan di Kecamatan
Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah. Uacara ini merupakan upacara upacara
men-jamas atau memandikan dua buah keris dan sebuah
tombak peninggalan Raden Mas Said atau Mangkunegara I yang disimpan di Selogiri. Selain efent-efent adat seperti jamasan
pusaka, mangkunegaran juga mengadakan efent modern yang bertujuan untuk
memperkenalkan budaya dan tradisi mangkunegaran
kepada umum seperti dengan mengadakan Mangkunegaran Art Festival 2014. Dalam
efent ini menyajikan berbagai tarian khas mangkunegaran seperti Tari Gambyong Retno Kusumo, Tari
Prawira Tamtama, Tari Bambangan Cakil Tari bedayabaya, . Dan tidak lupa Peragaan Upacara Adat Mitoni atau upacara tuju
bulanan.
BAB
V
DISINTEGRASI
KESENIAN MATARAM
Setelah
terpecah menjadi Dua kerajaan Besar yaitu Kasultanan Yogyakarta dan kasunanan
Surakarta serta dua kerajaan kecil yaitu Mangkunegaran dan pakualaman, keempat
kerajaan ini memiliki struktur kebudayaan yang berbeda. Karena kebudayaan adalah hal yang melekat
dalam masyarakat dan memiliki fungsi yang sangat penting seperti unsur kesenian
yang melekat pada sebuah kerajaan memiliki peranan penting yaitu untuk
menunjukan jika sebuah kerajaan memeiliki peradapan yang halus dan maju. Karena
begitu pentingnya sebuahah kebudayaan bagi kehidupan keraton. Keempat keraton
di Tanah Jawa ini saling berlomba-lomba menyajikan suatu kebudayaan yang
berbeda agar legitimasi dan kekuatan keraton dapat terlihat jelas. Disintegrasi
dalam Kesenian
Seni merupakan
bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Edi
Sedyawati yang dikutip oleh Edi Wahyono seni memiliki beberapa fungsi yaitu
sebagai bagian dari ritus, sarana untuk mendapatkan kesenangan dan yang terakir
perlengkapan kebesaran seorang raja atau suatu lingkungan. (Wahyono,2006: 272). Dari ketiga fungsi ini fungsi yang ketiga
menunjukan keterkaitan seni dalam upaya untuk menunjukan kebesaran diri raja
atau penguasa.
Kesenian yang
berkembang dalam sebuah bradaban sangat beraneka raga. Namun utnuk mebatasikan
penulis mepersempit permasalahan dalam hal ini yang dimaksud seni atau kesenian
adalah Karawitan. Karawitan dalam kerajaan-kerjaan Jawa memiliki dua peranan
penting. Yang pertama sebagai fungsi musikal.
Fungsi musikal adalah fungsi
karawitan yang berhubungan dengan kesenian lainya seperti, tari, pedalangan,
atau bentuk seni yang lain. Yang kedua adalah fungsi sosial yaitu fungsi yang
berhubungan dengan upacara-upacara tertentu. (Sosodoro, 2013:62)
Ketika karawitan
sebagai bagian dari kesenian di memiliki fungsi sosial yaitu untuk mengiringi
dan menghidupkan suasana pada upacara-upacara tertentu, secara tidak langsung
kerawitan digunakan sebagai salah satu upaya legitimasi dari masing-masing
kerajaan. Karena di dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat kerajaan dan
raja upacara merupakan hal yang sangat
penting, selain masih mengandung unsure mistik dan penghormatan kepada roh
nenek muyang upacara juga digunakan untuk menunjukan kemegahan raja. Maka tidak
heran didalam keraton sering diadakan upacara yang megah seperti upacara
Jumenengan, Jamasan Pustaka, Sekaten hingga perinikahan putra-putri raja selalu
diadakan dnegan mewah.
Karena merupakan
alat legitimasi kekuasaan empat kerajaan di Jawa ini mengembangkan kesenian
yang berbeda-beda dalam upaya menunjukan identitas diri dan melakukan
legitimasi atas kekuasaannya. Salah satu contohnya adalah Tipe atau
karakteristik kerawitan yang berbeda dari dua kerajaan keturunan Mataram ini.
Secara garis besar ada dua gaya kerawitan di dua pecahan kerajaan Mataram. Yaitu gaya kasultanan Yogyakarta dan gaya
Kasunanan Surakarta
Sebagian besar musisi atau
masyarakat seni (Karawitan) meyakini bahwa gaya karawitan Yogyakarta adalah
penerus gaya Mataram yang dikembangkan sebelum diadakanya perjanjian Giyanti,
sedangkan gaya Surakarta dikembangkan setelah adanya perjanjian. Secara garis besar Yogyakarta menonjolkan
tabuhan yang tegap, gagah, sedangkan Surakarta terkenal dengan tabuhan yang cenderung
lembut dan rumit. Bahkan ada yang menyebut jika gaya karawitan Yogyakarta
berkarakter “Maskulin” atau “Klasik” sedangkan gaya karawita Surakarta adalah
lebih bersifat “Feminim” atau “Romantik”. (Sosodoro, 2013:65)
Dari dua jenis
karawitan ini ada persilangan gaya karawitan yang ditunjukan oleh empat
kerajaan di Jawa ini. Puro mangkunegaran yang letaknya berdekatan dengan
Surakarta mengembangkan kesenian khususnya Kerawitan yang cenderung mirip
dengan gaya karawitan Yogyakarta. Sedangkan Pakualaman yang letaknya di
Yogyakarta cenderung meniru karawitan gaya Kasunanan Surakarta. Perbedaan
antara kesenian empat kerajaan ini mungkin dilakukan untuk menciptakan
identitas yang berbeda melalui kesenian. Dan untuk menunjukan jika baik
Mangkunegaran yang letahnya di Surakarta maupun Pakualaman yang letaknya di
Yogyakarta mampu menciptakan gaya tersendiri yang berbeda. Hal ini juga dapat
menunjukan kekuasaan raja dalam kesenian.
Upaya Pura mangkunegaran untuk
membedakan kesenian dengan gaya kesenian Kraton kasunanan sangatlah mungkin ,
mengingat mangkunegaran yang memiliki kedudukan dibawah kraton dan harus
membedakan kerawitan dengan gaya kraton. (Sosodoro, 2013:66)
Perbedaan
karawitan selain pada tabuhan gending
seperti yang disebutkan diatas. Perbedaan juga dapat ditemukan pada
bentuk Gendhing, dimana Gendhing gaya Mangkunegaran memiliki gaya yang khusus
yaitu Cakepan atau syair melekat langsung dan tidak dapat dipisahkan dari
gendhing. Cakepan menjadi identitas yang tidak bisa terpisahkan dari Gendhing.
Sedangkan pada Gendhing-gendhing ciptaan Kasunanan Surakarta gendhing dan
cakepan selalu terpisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...