Senin, 19 Januari 2015

Kebudayaan, Politik , dan Keraton. Legitimasi kebudayaan di Mangkunegran


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kebudayaan adalah suatu hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta merupakan kemampuan berfikir masyarakat. (Soerjono Soekanto, 1982:151).  Rasa merupakan upaya manusia untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang ada dimasyarakat. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan buruk manusia terpaksa menciptakan kaidah-kaidah atau norma-norman..
Politik memiliki banyak pengertian yang berbeda jika dilihat dari berbagai pendekatan. Dari sudut pendekat kekuasaan politik dipahami sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari, mendapatkan, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan (Suwarno,2012:8). Sedangkan kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai Kemampuan seseorang atau . sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar sesuai dengan keinginan dan tujuannya (Suwarno,2012:24)
Orang yang ingin mencapai kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan haruslah menciptakan kaidah-kaidah dan menjadikan kaidah-kaidah tersebut sebagai sebuah habit atau kebiasaan dalam masyarakat sehingga dapat mencapai dan melanggengkan kekuasaanya. Sehingga dapat dikatakan dengan kata lain mereka menggunakan kebudayaan yang aspeknya begitu luas untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Penggunaan kebudayaan sebagi sarana legitimasi lebih mudah dibandingkan dengan cara kekerasan hal ini dikarenakan kebudayaan adalah sesuatu yang melekat pada masyarakat dan tididak dapat dipisahkan dalam masyarakat. Penggunaan kebudayaan sebagai sarana legitimasi kekuasaan dapat diibaratkan memaksa dengan cara yang halus.
Pemakaian kebudayaan sebagai sarana legitimasi kekuasaan sudah terjadi sejak lama. Kebudayaan sebagai sarana legitimasi sudah dipergunakan sejak berdirinya kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Kerajaan sengaja menciptakan kaidah-kaidah yang berisi upaya melangengkan kekuasaan yang kelak akan membiasa dalam kehidupan masyarakat. Sistem politik tradisional yang menggunakan kebudayaan sebagai alat legitimasi yang paling dominan yang bisa kita lihat sekarang adalah di Jawa.
Jawa memiliki sebuah peradaban besar dengan banyak kerajaan-kerajaan. Namun dari sekian banyak kerajaan Mataramlah yang masih Berjaya dan masih eksis ditengah-tengah masyarakat walaupun tidak dalam bentuk yang utuh. Dalam sepanjang sejarahnya kerajaan Mataram selalu terlibat dalam usaha-usaha mengunkuhkan diri sebagai pusat kekuasaan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama karena Mataram selalu merasa terancam oleh kekuasaan kekuasaan lain disekitarnya. Perasaan peranacam ini muncul karena Mataram memperoleh kekuasaan dengan cara berperang seperti halnya Mataran yang meruntuhkan Pajang. Yang kedua karena Mataram memandang kekuasaan sebagai ketunggalan yang utuh dan bulat. Oleh karena itu selama kebulatan dalam kekuasaan dipandang belum utuh Mataram akan terus memperkuat diri.  (G.Moedjanto,1987:28)
Seiring perjalananya mataram tidak mampu memperkuat diri dan menjaga keutuhan kekuasaan. Konflik justru terjadi dalam diri kerajaan. Konflik semakin tajam saat kedatangan VOC hingga wilayah Mataram pun terbagi-bagi. Dari perjanjian Giyanti kerajaan Mataram terpecah mejadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan  Surakarta. Setelah pembagian kekuasaan ini Kasusnanan Surakarta masih harus terpecah lagi menjadi dua dengan berdirinya Mangkunegaran.
Mangkunegaran dalam perpolitikan Jawa memiliki sebuah keistimewaan karena berdirinya Mangkunegaran dengan jalan perjuangan.( Riclefs, 1991) Mangkunegaran berdiri karena penandatanganan perjanjian Salatiga tahun 1757 setelah Raden Mas Said melakukan perlawanan dan berhasil mengalahkan satu kelompok pasukan VOC. Dari perjanjian tersebut disepakati Raden Mas Said mendapatkan sebagian wilayah dari Keraton Surakarta. 
Walaupun sebuah kadipaten yang sebenarnya berada dibawah Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran mampu menunjukan eksistensinya hingga saat ini. Terbukti Mangkunegaran memiliki beberapa kelibihan dibanding Kasunanan Surakarta.  Mangkunegaran juga mengembangkan sayap kekuasaanya kedalam bidang perekonomian. Terbukti banyak tanah-tanah mangkunegaran yang digunakan untuk perkebunan tebu. Mnagkunegaran juga memiliki perusahaan-perusahaan gula seperti halnya yang ada di Colo Madu. Kebenaraan Mangkunegaran yang masih eksis hinggga saat ini tidak lepas dari implikasi legitimasi Mangkunegaran dalam unsure-unsur kebudyaan. Namun unsure kebudayaan yang dapat mencerminkan sifat khas sebuah kebudayaan dan bentuk legitimasi kekuasaan hanya dapat dilihat dengan jelas dalam unsure-unsur yang terbatas terutama melalui bahasa, kesenian dan upacara


2.      Rumusan Masalah
2.1. Bagaimanakah  Mangkunegaran melanggengkan kekuasaanya?
2.2.Bagaimanakan bentuk legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang dilakukan Mangkunegaran ?
2.3. Bagaimanakah reaksi maasyarakat terhadap legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang dilakukan oleh Mangkunegaran?
2.4. Bagaimanakah dampak Legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan terhadap aktivitas krbudayaan masyarakat?
3.      Tujuan
3.1.Mendiskripsikan cara Mangkunegaran melanggengkan kekuasaanya.
3.2.Menjelaskan bentuk legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang dilakukan Mangkunegaran
3.3.Menjelaskan reaksi maasyarakat terhadap legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan yang dilakukan oleh Mangkunegaran
3.4.Menelaskan dampak Legitimasi kekuasaan melalui kebudayaan terhadap aktivitas krbudayaan masyarakat.
4.      Fokus Kajian
Mataram menjadi kerajaan yang memiliki eksistensi yang tinggi diantara kerajaan-kerajaan lainya dipulau Jawa. Buktinya hingga saat ini sistem kerajaan tersebut masih ada walaupun sudah terpecah-pecah kedalam kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bentuknya. Namun kerajaan-kerajaan tersebut masih berdiri dan memiliki wilayah kekuasaan dan kewenanganya masing-masing. Termasuk didalamnya ada Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dua bagian dari kerajaan Mataram yang terpecah akibat perjanjian Giyanti. Ada pula Mangkunegaran Yang merupakan sebuah kadipaten dibawah Surakarta yang memberontak dibawah pimpinan Raden Mas Said. Dan kemudian diberikan wilayah dibawah Kasunanan Surakarta karena perjanjian Salatiga.
Perjanjian Salatiga adalah sebuah perjanjian taktik Belanda untuk menghadapi perlawanan Raden Mas Said yang cukup tangguh. Raden Mas Said terpaksa harus tunduk dan mau berunding dengan Belanda karena ia menghadapi tiga kekuatan sekaligus yaitu Belanda, Surakarta dan Yogyakarta. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat sebagian wilayah keraton Surakarta. Selain itu pihak Belanda juga mengangkat Raden Mas Said sebagai penguasa di wilayah tersebut.
Mangkunegaran dalam perpolitikan Jawa memiliki sebuah keistimewaan karena berdirinya Mangkunegaran dengan jalan perjuangan( Riclefs, 1991). Karena berdiri dengan jalan perjuangan melawan Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Karena berdiri dengan cara revolusioner yaitu melalui pemberontakan Mangkunegaran harus menerima beberapa perlakuan tidak adil atau Pendiskriminasian atas keberadaanya. Perlakuan ini terlihat dari beberapa hal misalnya saja penyebutan Puro buakn Keraton untuk istana mangkunegaran, selain itu gelar raja Mangkunegaran bukan raja melainkan hanya pangeran.
 Mangku negaran memiliki cara tersendiri untuk melanggengkan kekuasaanya hal ini dapat dilakukan dengan Melakukan Legitimasi Kekuasaan. Legitimasi kekuasaan adalah usaha mengukuhkan kedudukanya agar dapat diakui dalam masyarakat. Upaya legitimasi ini sudah sering dilakukan Raja-raja Keraton Mataram. Upaya untuk mengukuhkan kekuasaan ini disebabkan beberapa Faktor. Pertama karena ada banyak kekuasaan kekuasaan lain selain di Mangkunegaran seperti Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Yang kedua karena adanaya perasaan terancam oleh kekuasaan kekuasaan lain disekitarnya. Perasaan terancam muncul karena Mangkunegaran memperoleh kekuasaan dengan cara berperang yaitu dengan berperang dengan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Belanda.
Dalam upaya melakukan legitimasi kekuasaan Mangkunegaran menggunakan Kebudayaan yang ada dalam masyarakat sebagai alat Legitimasi agar keberadaanya selalu eksis. Karena kebudayaan sifatnya selalu melekat dalam masyarakat dan unsure-unsurnya sangatlah luas maka Pihak mangkunegaran menyisipkan unsure-unsur legitimasi dalam unsure-unsur kebudayaan masyarakatnya. Seperti dengan menggunakan tembang-tembang atau hasil kebudayaan lainya. Selain itu Legitimasi kekuasaan juga dilakukan dengan pemberlakuan unggah-unnguh bahasa atau tingkatan-tingkatan dalam bahasa. .
Karena adanya dua Versi kebudayaan yang dijadikan alat masing-masing piak untuk menyalurkan aspirasinya dan sebagai alat encapai tujuan maka akan terjadi Disintegrasi dalam Kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Mangkunegaran yang awalnya sama kemudian berubah dan terpecah untuk mewujudkan keinginan masing-masing pihak. Selain itu juga terjadi persaingan kebudayaan sebagai upaya menandingi kebudayaan keraton lain dalam hal ini adalah upaya menandingi kasunanan Surakarta.
5.      Tinjauan Pustaka.
Kebudayaan adalah suatu hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta merupakan kemampuan berfikir masyarakat. (Soerjono Soekanto, 1982:151). Kebunydayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan lainya. Selain itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik dibidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan tersebut diatas dapat dipenui melalui kebudayaan.  (Soerjono Soekanto, 1982:155)
Politik dapat diartikan dengan lima pendekatan. Pertama Pendekatan klasik yang memandang politik sebagai usaha yang dilakukan oleh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, pendekatan kelembagaaan melihat politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negera. Yang ketiga pendrekatan fungsional, politik adalah kegiatan merumuskan kebijakan umum. Keemepat, Pendekatan Konflik politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber-sumber daya politik yang dianggap penting, Yang terakir adalah pendekatan kekuasaan politik dipahami sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari, mendapatkan, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan (Suwarno,2012:8)
Sedangkan kekuasaan sendiri adalah Kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar sesuai dengan keinginan dan tujuannya . Sedangkan kekuasaan politik sendiri dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mempengarui proses pembuatan kebijakan public, terutama yang dilakukan oleh penguasa demi tujuan kepentingan sendiri. (Suwarno,2012:24). Menurut Benedict Anderson dalam Fachry ali ada empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif Jawa diantaranya Kekuasaan itu kongkret, Kekuasaan itu homogen, Jumlah kekuasaan dialam raya itu tetap dan kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. (Fachry ali, 1986:25)
Dinasti Mataram selalu merasa dirinya terancam oleh kekuasaan oleh pusat-pusat kekuasaan lain. Oleh karena itu dinasti Mataram terlibat dalam usaha terus menerus untuk mengukuhkan dirinya, Disamping itu Mataram juga memandang kekuasaan sebagai suatu ketunggalan yang utuh dan bulat. Artinya kekuasaan itu tidak boleh terbagi karena itu sepanjang konsep kekuasaan itu belum menjadi kekuasaan dinasti akan terus memperkuat diri. (G.Moedjanto,1987:28)
Akibat usaha-usaha ini Mataram selalu berusaha menaklukan wilayah-wilayah lain. Karena cara memperoleh kekuasaanya dengan menaklukan wilayah-wilayah lain maka ada beberapa wilayah yang berusaha melepaskan diri dianratanya adalah Mangkunegaran sebuah kadipaten yang dipmpin oleh Raden Mas Said yang berusaha untuk melepaskan diri dan memperoleh Wilayah. Berkat kegigihan mereka lewat perjanjian Salatiga berdirilah Mangkunegaran sebagai sebuah wilayah yang kedudukanya sama dengan Surakarta dan Yogyakarta.


***
BAB II
GAMBARAN UMUM
1.    Mangkunegaran
Konsep tentang Mangkunegaran sangat luas ada yang berpendapat jika Mangkunegaran adalah kadipaten dibawah Kasunanan Surakarta ada yang berpendapat sebagai suatu kawasan yang meliputi daerah-daerah tertentu dan ada yang menyebutkan jika mangkunegaran adalah kerajaan dibawah Kasuanan Surakarta yang memiliki otonomi sendiri.
Mangkunegaran mengacu pada dua konsep, yang pertama adalah sebagai sebuah unit pemerintahan, sebagai sebuah unit pemerintahan Mangkunegaran adalah sebutan bagi praja atau kerajaan kecil atau kadipaten besar yang didirikan oleh Raden Mas Said yang kemudian menjadi raja mangkunegaran yang pertama dan bergelar Mangkunegara I. Yang kedua mengacu pada suatu unit wilayah, sebagai suatu unit wilayah Mangkunegaran terdiri dari kota praja dan daerah diluarnya yang sebagian besar terdiri dari pedesaan. (Wasino,2008:11)

Mangkunegaran beridiri karena penandatanganan Perjanjian Salatiga oleh Raden Mas Said pada 17 Maret 1757. Dan Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai raja pertama dengan Gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I. Mangkunegaran merupakan kerjaan yang Istimewa dikarenakan beberapa hal, pertama karena kerajaan ini berkat perjuangan Raden Mas Said bukan didapat melalui keturunan. Pemberontakan yang dilakukan Raden Mas Said untuk mendapatkan kekuasaan yang bebas lepas dari campur tangan VOC merupakan pemberontakan yang paling hebat.
“Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Mas Said telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Termasuk tiga pertempuran dasyat periode 1752-157. Yaitu pertempuran melawan Mangkubumi , pertempuran melawan dua detasemen pasukan VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beimen, yang terakir adalah penyerbuan benteng Vandeburg Yogyakarta.” (Revolta, 2008:137)

Kedua Mangkunegaran merupakan kerajaan yang bisa bertahan walaupun Belanda berkuasa di Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Riclefs :

“Diantara semua kerajaan , Mangkunegaran lah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kekuasaan Belanda. Mungkin penting dicatat bahwa inilah juga satu-satunya istana dimana tradisi militer bangsawan Jawa tetap hidup, sekalipun dibawah kekuasaan Belanda.” ( Riclefs, 1998:194)

Ketiga Magkunegaran merupakan keraton yang memiliki perusahaan sendiri. Mangkunegaran mengembangkan usaha dalam bidang perkebunan dalam hal ini adalah perkebunan Kopi dan Gula yang pada saat itu memang merupakan komoditi perdagangan yang laku diparasan dunia. Sistem pengelolaan perkebunan ini juga meniru gaya Eropa.

“ Mangkunegaran juga mengembangkan tanaman-tanaman perkebunan yang luas, khususnya untuk komoditi kopi dan gula. Landasan untuk perekonomian ini diletakan oleh Mangkunegara IV. Dia menerapkan teknik-teknik pengelolaan dan eksploitasi Eropa, tetapi dengan perbedaan yang penting bahwa keuntungan-keuntunganya di tanamkan kembali ke daerah kekuasaanya dari pada dikirim ke luar negeri.”  ( Riclefs, 1998:194)

Yang keempat adalah kedudukan Mnagkunegaran yang dianggap sebagai penyeimbang kekuatan politik Surakarta dan Yogyakarta.
Dengan Demikian dalam percaturan politik Jawa, Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan politik meskipun diatas kertas, kedudukan Mangkengaran dibawah keraton atau sebagai sebuah kadipaten. (Kresna, 2011:157)
Namun kedudukan Mangkuneragan sebgai sebuah Kadipaten dapat berubah setelah penandatanganan perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang isi utamanya adalah mengkat Mangkengara selaku pemimpin Mangkunegaran sebagai Adipati Miji (adipati yang mandiri) yang pangkatnya sejajar dengan Sunan ataupun Sultan. Setelah penandatanganan perjanjian mulai berdirilah Pura Mangkunegaran sebagai pusat kegiatan di Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran terletak di di Kelurahan Keprabon RT. 20 Kecamatan Banjarsari, Surakarta dengan luas tanah 302,50 x 308,25 m atau 9.345.625 m2. Berbatasan dengan, sebelah selatan adalah jalan Ronggowarsito; bagian barat dengan jalan Kartini, timur dengan jalan Teuku Umar, dan sebelah utara dengan jalan R.M. Said.
2.      Kebudayaan
Herkovits dalam Soerjono mengungkapkan jika kebudayaan sebagai sesuatu yang  kekal dan tidak akan hilang karena kebudayaa akan mengalami regenerasi baik itu disengaja maupun tidak disenagaja
Kebudayaan sebagai super-organic hal ini dikarenakan kebudayaan yang turun temurun dari generasi kegenerasi selanjutnya terus hidup , walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa berganti disebabkan karena kelahiran dan kematian (Herkovits dalam Soerjono, 1982:150)

Koentjaraningrat mendifinisikan kebudayaan sebagai :
Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 2002:180)         
Jadi didapat pengertian jika kebudayaan menurut Koentjaraningrat lingkupnya lebih luas mencakup tiga unsure yang pertama berupa ide atau gagasan yang kedua berupa unsure tindakan yang kemudian dapat menjadi kebiasaan jika tindakan tersebut dillakukan berulang-ulang yang kemudia dapat terinternalisasi dalam sistem sosial yang ketiga tentulah wujud kebendaan karena merukan hasil karya manusia
E.B Taylor dalam Soerjono Soekanto mengungkapkan Jika kebudayaan sebagai sesuatu  hasil interaksi berulang yang dipelajari dalam masyarakat. Kebudayaan merupakan aturan-aturan normative yang dapat mendisiplinkan kehidupan masyarakat. Selain itu kebudayaan adalah upaya adaptasi kelompok masyarakat agar tetap dapat bertahan dalam masyarakat

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan , kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.( Soerjono, 1982:150

            Selo sumarjan dan Soeleman Soemardi merumuskan jika: kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.  Karya menghasilkan tenologi kebendaan atau material culture. Rasa yang meliputi jiwa menghasilkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Cipta merupakan, baik teori murni atau yang telah disusun untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
            Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan jika kebudayaan adalah Hasil cipta,rasa,dan karya anggota masyarakat yang mencakup pengetahuan , kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang akan terus hidup kekal dalam masyarakat.
            Kebudayaan memiliki beberapa unsure didalamnya. Unsur itu meliputi sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan dan religi. ( Soerjono, 1982: 154). Dimana semua unsure ini pasti ada dalam kehidupan masyarakat dan merupakan hasil belajar dalam masyarakat. Semua unsure kebudayaan dapat dipandang melalui tiga wujud kebudayaan yaitu ide, sistem sosial  dan benda.( Koentjaraningrat, 2002:189)

3.      Politik
Emha Ainun Najib dalam artikelnya yang dimuat dalam buku Dinamika budaya dan politik dalam pembangunan mengungkapkan jika politik adalah suatu kegiatan yang menyangkut kelompok-kelompok sosia, bangsa,mungkin kelas atau bentukan grup sosual lain yang bergerak tawar menawar menentukan penciptaan dan penguasaan kekuasaan.
Politik memiliki banyak pengertian yang berbeda jika dilihat dari berbagai pendekatan. Dari sudut pendekat kekuasaan politik dipahami sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari, mendapatkan, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan. Jika dipandang melalui pendekatan klasik politik adalah usaha yang dilakukan oleh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama .Pendekatan kelembagaan melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan atau Negara.Pendekatan fungsional mengartikan politik sebagai  kegiatan untuk merumuskan kebijakan umum. Pendekatan konflik memaknai politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber-sumber daya politik yang dianggap penting. (Suwarno,2012:8).
Sedangkan kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai Kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar sesuai dengan keinginan dan tujuannya. (Suwarno,2012:24).  Kekuasaan merupakan kekuatan yang sah untuk dapat memimpin, mengkoordinasi, mengelola, tingkah laku individu atau sekelompok orang untuk ditujukan sesuai dengan harapan sang empunya kekuasaan.
Dalam perkembangan selanjutnya politik dan elit politik sebagai subyeknya selalu memerlukan saluran-saluran tertentu untuk menanamkan ideology mereka dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut. Perkembangan selanjutnya poltik mulai menginfiltrasi dalam berbagai bidang-bidang kehidupan termasuk melalui kebudayaan. Kebdayaan merupakan bagian dari masyarakat yang tidak akan hilang dan selalu mengalami regenerasi. Kekalan kebudayaan inilah yang dapat digunakan para elite politik termasuk raja-raja keraton untuk melanggengkan kekuasaanya.  
***
BAB III
DELIMITASI MANGKUNEGARAN

Delimitasi berasal dari bahasa Inggris Delimit yang artinya membatasi. Dalah hal ini Membatasi kekuasaan atau kewenangan seseorang atau sekelompok orang. Karena Kewenangan atau kekuasaan pada hakekatnya harus dibatasi agar tidak mengganggu atau merugikan kekuasaan-kekuasaan lain.
Sebagai sebuah kerajaan yang dibangun dengan cara pemberontakan, Mangkunegaran memiliki otonomi untuk mengatur wilayah dan kekuasaanya sendiri tanpa terikat dengan Keraton Surakarta maupun Yogyakarta namun Mangkunegaran tentu saja dibatasi dalam kewenanganya dengan tujuan agar Mangkunegaran sebagai sebuah kerajaan kecil tidak melakukan dominasi politik dan menyaingi kekuatan politik dua kerajaan besar di Jawa pada masa itu.
1.      Hanya Puro bukan Keraton
Salah satu pembatasan kewenanganya adalah pendirian Kerajaan Mangkunegaran yang tidak dinamakan dengan Istana atau keraton melainkan hanya dinamakan dengan sebutan “Puro” .Puro Mangkunegaran pada dasarnya adalah tempat kediaman raja. Secara arsitektural bangunan Puro Mangkunegaran memiliki cirri yang sama dengan keraton yaitu memiliki  pamedan, pendopo, pringgitan, dalem, dan kaputran, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.  Keterbatasan wewenang antara Kasunanan dan Mangkunegaran juga memiliki perbedaan diantaranya Pura Mangkunegaran tidak memiliki alun-alun, gajah dan beringin.

Alun-alun merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa. Alun-alun digunakan sebagai tempat berkumpul masyarakat dan tempat masyarakat membicarakan sesuatu hal yang penting  dengan pempinan mereka. Selain itu alun-alun juga tempat diselenggarakananya berbagai ritual adat yang mendongkrak popularitas dan wibawa para bangsawan kerajaan. Alun-juga merupakan pusat kekuatan kerajaan
 Keraton  diapit alun-alun yaitu alun-alun utara dan selatan. Di zaman lampau kedua alun-alun mempunyai arti penting sekali bagi Negara karena disitulah tempat yang akan menentukan kekuatan Negara, sebab ditempat inilah prajurit dan para perwira berlatih dalam menggunakan senjata dalam pertempuran seorang melawan seorang dan berlatih menyerbu barisan berkuda dan lain-lain cara yng berkaitan denga kepentingan perang.” ( Purwadi, 2008: 43)

Dengan ketiadaan alun-alun ini maka kesempatan rakyat untuk bertemu dengan pemimpinya dan kesempatan pemimpin untuk bertemu dengan rakyatnya berkurang.  Selain itu ketiadaan alun-alun di Mangkunegaran dimungkinkan untuk membawatasi kekuatan militer Manar tidak menyerang dan memberontak

2.      Raja  hanya bergelar Pangeran
Gelar merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah sistem kerajaan.  Hampir semua kerajaan kuno di indosesia ketika Penobatan putra mahkota menjadi raja juga terjadi pemberian Gelar baru pada putra Mahkota tersebut. Dalam masyarakat Jawa pemakaian gelar mempuanyai efek sosial yang sangat kuat.( Moedjanto, 1987:20) Dengan pemakaian gelar dapat mengaburkan status sosial masyarakat yang lama sehingga status sosial seseorang dalam masyarakat dapat terangkat.Sebagai contoh adalah pemakaian gelar yang sangat panjang  oleh raja-raja kerajaan Mataram sebagai upaya megaburkan identitas nenek moyangnya yang hanya seorang petani biasa.
 Selain itu pemakaian gelar juga dimanfaatkan dan disesuaikan dengan kondisi politik serta perkembangan gelar dalam masyarakat sehingga penggunaan gelar dapat digunakan sebagai sebuah upaya legitimasi kekuasaan.
 Dengan Pemakaian gelar-gelar dapat diartikan upaya untuk membangun sebuah kekuasaan baru. Seperti pada masa kerjaan Mataran Hindu dimana selalu terdapat perubahan-perubahan pemakaian gelar disetiap wangsanya. Yang menunjukan adanya pergantian kekuasaan. Sebagai contoh pada wangsa Sanjaya dimana kerjaan Mataram berpusat di Jawa tengah Rajanya bergelar “Rakai Mataram sang ratu sanjaya” Namun setelah Mataran berada dibawah kekuasaan Islam gelar raja pun berubah menjadi Senopati, Sultan, Susuhunan dan banyak perubahan gelar lainya. Hal ini adalah upaya untuk menunjukan kepada rakyat jika Mataram sudah berada dibawah kekuasaanan yang baru.
Pada 14 Jumadil Awal 1682 H atau 4 Desember 1757 M diadakan perundingan di Kalicacing Salatiga dan sejak waktu iti Raden Mas Said dinobatkan menjadi raja pemimpin Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara I. Setelah itu diganti oleh Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara II, Dan setelah itu digantikan Lagi oleh Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara III. Dan begitu seterusnya hingga saat ini yang menjabat sebagai mangkunegaran adalah Gusti Raden Mas Sujiwo kusumo dengan Gelar Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara IX. (Purwadi,2010: 545-567). Dapat disimpulkan sija raja-raja Mangkunegara secara resmi dan konsisten memakai gelar Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara atau yang sering disingkat denga KGPAA.
Jika kita bandingkan dengan pemakaian gelar oleh Pangeran Mangku Bumi yang menjadi raja Yogyakarta menggunakan gelar Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono Senapati Ing Ngalaga Khalifatullah Ngabdurrahman Sayiddin Panatagama Ingkang Jumeneng Ing Negari Yogyakarta Hadiningrat Ingkang Jumeneng Sepisan. Namun karena nama ini terlalu panjang orang lebih mengenalnya dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I. (Purwadi, 2008:31). Didapat sebuah perbedaan yang pencolok antara gelar dua kerajaan yang sebenarnya memiliki kedudukan yang sama tersebut.
Gelar untuk raja Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara. Jika diatrikan secara terpisah dan bebas. Kanjeng Gusti dapat diartikan sebagai Yang Dipertuan atau yang dianggap sebagai Tuan atau pemimpin. Pendiskriminasian Mangkunegaran terlihat jelas pada pemakaian Gelar Pangeran. Pangeran adalah putra raja sedangkan Adipati sendiri adalah adik raja yang menunjukan kekuasaanya dibawah raja namun mirip dengan raja. (Sesana : 2010). Hal ini menunjukan kedudukan raja Mangkunegaran berada dibawah atau lebih rendah dari pada raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowono.
3.      Makam leluhur di Astana Giri Layu
Setiap kerajaan memiliki daerah tersendiri untuk memakamkan rajanya.  Seperti untuk raja-raja mataram yang dimakamkan di Imogiri. Dimakam imogiri sendiri terdiri dari 8 kelompok lokasi, dimana terdapat lokasi makam untuk keluarga kerajaan kasunanan Surakarta yaitu : Kasuwargan Surakarta yang digunakan untuk raja-raja awal kasunanan,  Kaping sangan Srakarta digunakan untuk Sri Susuhunan Pakubuwono ke VI hngga Sembilan, dan Girimulya Surakarta untuk Sri Susuhunan Pakubuwono X hingga XII.
Sedangkan untuk makam keluarga Mangkunegaran sendiri di tempatkan di Astana Giri Layu yang terletak di kecamatan Matesih  Kabupaten Karanganyar. Dari hal ini terlihat delimitasi Mangkunegaran dimana raja-raja Mataram dan keturunanya seperti Raja Yogyakarta dan Surakarta di Makamkan di Imogiri sedangkan raja Mangkunegaran di Astana Giri Layu.
BAB IV
LEGITIMASI KEKUASAAN MELALUI KEBUDAYAAN
Legitimasi adalah sebuah upaya untuk melanggengkan sebuah kedudukan atau kekuasaan. Legitimasi mutlah diperlukann agar sebuah kekuasaan dapat terus eksis dan diakui ditengah-tengah masyarakat.  Dalam setiap kekuasaan pastilah memerlukan sebuah alat untuk melakukan legitimasi, untuk kekuasaan Mangkunegara ada beberapa cara untuk melanggengkan kekuasaan dan menunjukan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat, Diantaranya melalui :
a.    Lagitimasi dalam serat TRIPAMA, Radyaprawito
Serat Radya Prawito ditulis oleh….. pada tahun…… Dalam serat ini ditegaskan  tentang pendirian Mangkunegaran sebagai sebuah Kadipaten atau daerah dibawah Kerajaan menjadi sebuah kadipaten miji (kadipaten yang mandiri). Dalam serat ini diajarkan pegangan hidup bagi seluruh masyarakat Mangkunegaran. Dalam Serat itu dijelaskan sebagai berikut :

“ Menggah wewatoning hadeging Praja Mangkunegaran puniko dipun wastanai Tri Darma, inggih puniko pakarti tigang bab ingkang dados gegebenganipun tiyang sak mangkenegaran” (Sunarman, 2010:68)

Yang Artinya “Adapun pendirian Pemerintahan Mangkunegaran ini dinamankan Tri Darma, yaitu pekerti yang terdiri dari tiga bab yang menjadi pegangan masyarakat Mangkunegaran”. Hal ini berarti penceritaan atau pengabaran jika Mangkunegaran telah berdiri dan menggunakan asas Tri Darma sebagai pegangan seluruh masyarakat Mangkunegara. Secara tidak langsung dalam serat ini melakukan peguatan kedudukan Raja agar rakyat Mangkunegaran mengikuti ajaran Raja yaitu Tri Darma itu sendiri.
Adapun isi Tri darma dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      Mulat sarisa hangrasa wani
2.      Pada melu handarbeni
3.      Hanggondeli Praja (Sunarman, 2010:68)
Yang diartikan secara bebas sebagai :
1.      Kenalilah dirimu sendiri jadilah kuat dan pandai. Hal ini menunjukan jika Masyarakat Mangkunegaran harus mampu mengenali dirinya sendiri dan menjadi kuat dan pandai agar mampu melepaskan diri dari kekuasaan asing yang menguasai Mangkunegaran.
2.      Merasa Memiliki. Hal ini menungkapkan jika masyarakat Mangkunegara harus merasa memiliki Mangkunegaran. Dengan adanya rasa memliki masyarakat pastilah akan melakukan segala hal untuk mempertahankan Mangkunegaran
3.      Memegang kerajaan atau praja. Dengan adanya sikap yang ingin memegang teguh kerajaan atau praja maka Mangkunegaran akan menjadi kerajaan yang kuat tidak akan jatuh ketangan penguasa lainya karena secara tidak langsung Raja mengajak rakyat untuk ikut serta menjaga Mangkunegaran.
Dalam ajaran ini sangat jelas upaya untuk melanggengkan kekuasaan Mangkunegaran yang sebelumnya telah diperjuangkan melalui jalan pemberontakan oleh Raden Mas Said. Karena didirikan melalui jalan kekerasan bukan tidak mungkin Kerajaan ini akan diebut kembali melalui jalan kekerasa pula. Oleh karena itu secara tidak langsung Raja meminta bantuan kepada rakyat agar tetap mau mempertahanya Mangkunegran.
Ajaran Mangkunegaran I terkenal dengan ajaran Tri Darma yaitu Rumangsa Handarbeni, Rumangsa wajib angrungkepi, mulat sarira angrasa wani. Secara tidak langsung ajaran ini menghendaki adanya partisipasi aktif rakyat secara langsung dalam penyelenggaraan Negara. (Purwadi, 2010: 551)

b.    Legitimasi dalam Tarian-tarian Mangkunegaran (Tari bedhaya Anglir Mendung)
Jika Kasunanan memiliki Tari Bedaya Ketawang sebagai tarian suci, Mangkunegaran juga memiliki tarian bedaya lain. Yaitu tarian Bedhaya Anglir Mendung. Merupakan sebuah Tarian Sakral. Tarian ini merupakan tarian Sreimpi. Menurut  R.T Warsadiningrat yang dikutip  K.G.P.H. Hadwidjojo (1978: 19)  dalam bukunya menyatakan jika Anglirmendung digubah oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I. 
Walaupun usia jauh lebih muda dari tarian Bedhaya, Anglir mendung memiliki beberapa kesamaan dengan tarian Bedhaya. Persamaan itu terletak pada namanya, Mendung artinya awan hal ini mirip dengan kata tawang  dari kata ketawang yang artinya awan. Selain itu dipakaianya kemanak sebagai pengiring utama. Yang terakir adalah pelaksanaan tarian yang dibagi menjadi tiga tahap.
Dengan adanya tarian bedhaya yang dianggap suci di masing-masing kerajaan ini, maka jelas ada legitimasi-legitimasi tersendiri dalam tarian, termasuk dalam tarian bedhaya dimana dalam Anglirmendung hanya terdapat tujuh penari hal ini untuk membedakan dengan tarian bedhaya Ketawang milik Kasunanan.  Jelaslah jika Mangkunegaran memiliki upaya-upaya untuk menyamakan diri dengan Kasunanan dengan memiliki tarian Bedhaya sendiri.
c.       Legitimasi Melalui Gelar saat menjadi raja
          Legitimasi melalui gelar sebenarnya sudah dilakukan oleh raja-raja keturunan Mataran sebelum terpecah menjadi dua kerajaan besar dan dua kerajaan kecil Legitimasi kekuasaan melakui gelar ini peting dilakukan oleh raja-raja karena untuk mengaburkan status sosial raja-raja yang dikenal sebagai golongan petani. Oleh karena itu raja-raja Mataram juga memakai gelar-gelar yang panjang-panjang. Gelar untuk raja Mangkunegaran adalah “Kanjeng Gusti Pageran Adipati Arya Mangkunegara. Jika diatrikan secara terpisah dan bebas. Kanjeng Gusti dapat diartikan sebagai Yang Dipertuan atau yang dianggap sebagai Tuan atau pemimpin.”
          Hal ini menunjukan jika pemakaian gelar yang panjang ini untuk melakukan legitimasi kekuasaan. Bahkan untuk membangun kekuasaan yang baru. Oleh karena ini menggunakan gelar yang panjang dan berbeda dengan gelar-gelar raja-raja atau gelar kebangsawanan yang lain.
d.      Legitimasi melalui upacara-upacara adat
             Perayaan dikalangan kraton merupakan representasi kraton yang menyedot perhatian public. (Rustopo: 2007).  Oleh karena itu untuk menunjukan eksistensinya kalangan kraton tidak jarang sering melakukan upacara-upacara adat yang mewah dan megah. Hal ini digunakan untuk menunjukan jika keraton masih memiliki kekuasaan, paling tidak dalam bidang kebidayaan
                         Di Mangkunegaran sendiri sering diadakan upacara-upacara semacam ini, seperti melakukan upacara jamasan pusaka yang dilakukan di Kecamatan Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah. Uacara ini merupakan upacara upacara men-jamas atau memandikan dua buah keris dan sebuah tombak peninggalan Raden Mas Said atau Mangkunegara I yang disimpan di Selogiri.  Selain efent-efent adat seperti jamasan pusaka, mangkunegaran juga mengadakan efent modern yang bertujuan untuk memperkenalkan budaya dan tradisi mangkunegaran kepada umum seperti dengan mengadakan Mangkunegaran Art Festival 2014.  Dalam efent ini menyajikan berbagai tarian khas mangkunegaran seperti Tari Gambyong Retno Kusumo, Tari Prawira Tamtama, Tari Bambangan Cakil Tari bedayabaya, . Dan tidak lupa  Peragaan Upacara Adat Mitoni atau upacara tuju bulanan.
BAB V
DISINTEGRASI KESENIAN MATARAM
Setelah terpecah menjadi Dua kerajaan Besar yaitu Kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta serta dua kerajaan kecil yaitu Mangkunegaran dan pakualaman, keempat kerajaan ini memiliki struktur kebudayaan yang berbeda.  Karena kebudayaan adalah hal yang melekat dalam masyarakat dan memiliki fungsi yang sangat penting seperti unsur kesenian yang melekat pada sebuah kerajaan memiliki peranan penting yaitu untuk menunjukan jika sebuah kerajaan memeiliki peradapan yang halus dan maju. Karena begitu pentingnya sebuahah kebudayaan bagi kehidupan keraton. Keempat keraton di Tanah Jawa ini saling berlomba-lomba menyajikan suatu kebudayaan yang berbeda agar legitimasi dan kekuatan keraton dapat terlihat jelas. Disintegrasi dalam  Kesenian
Seni merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Edi Sedyawati yang dikutip oleh Edi Wahyono seni memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai bagian dari ritus, sarana untuk mendapatkan kesenangan dan yang terakir perlengkapan kebesaran seorang raja atau suatu lingkungan. (Wahyono,2006: 272).  Dari ketiga fungsi ini fungsi yang ketiga menunjukan keterkaitan seni dalam upaya untuk menunjukan kebesaran diri raja atau penguasa.
Kesenian yang berkembang dalam sebuah bradaban sangat beraneka raga. Namun utnuk mebatasikan penulis mepersempit permasalahan dalam hal ini yang dimaksud seni atau kesenian adalah Karawitan. Karawitan dalam kerajaan-kerjaan Jawa memiliki dua peranan penting. Yang pertama sebagai fungsi musikal.

Fungsi musikal adalah fungsi karawitan yang berhubungan dengan kesenian lainya seperti, tari, pedalangan, atau bentuk seni yang lain. Yang kedua adalah fungsi sosial yaitu fungsi yang berhubungan dengan upacara-upacara tertentu. (Sosodoro, 2013:62)

Ketika karawitan sebagai bagian dari kesenian di memiliki fungsi sosial yaitu untuk mengiringi dan menghidupkan suasana pada upacara-upacara tertentu, secara tidak langsung kerawitan digunakan sebagai salah satu upaya legitimasi dari masing-masing kerajaan. Karena di dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat kerajaan dan raja  upacara merupakan hal yang sangat penting, selain masih mengandung unsure mistik dan penghormatan kepada roh nenek muyang upacara juga digunakan untuk menunjukan kemegahan raja. Maka tidak heran didalam keraton sering diadakan upacara yang megah seperti upacara Jumenengan, Jamasan Pustaka, Sekaten hingga perinikahan putra-putri raja selalu diadakan dnegan mewah.  
Karena merupakan alat legitimasi kekuasaan empat kerajaan di Jawa ini mengembangkan kesenian yang berbeda-beda dalam upaya menunjukan identitas diri dan melakukan legitimasi atas kekuasaannya. Salah satu contohnya adalah Tipe atau karakteristik kerawitan yang berbeda dari dua kerajaan keturunan Mataram ini. Secara garis besar ada dua gaya kerawitan di dua pecahan kerajaan Mataram.  Yaitu gaya kasultanan Yogyakarta dan gaya Kasunanan Surakarta
Sebagian besar musisi atau masyarakat seni (Karawitan) meyakini bahwa gaya karawitan Yogyakarta adalah penerus gaya Mataram yang dikembangkan sebelum diadakanya perjanjian Giyanti, sedangkan gaya Surakarta dikembangkan setelah adanya perjanjian.  Secara garis besar Yogyakarta menonjolkan tabuhan yang tegap, gagah, sedangkan Surakarta terkenal dengan tabuhan yang cenderung lembut dan rumit. Bahkan ada yang menyebut jika gaya karawitan Yogyakarta berkarakter “Maskulin” atau “Klasik” sedangkan gaya karawita Surakarta adalah lebih bersifat “Feminim” atau “Romantik”. (Sosodoro, 2013:65)

Dari dua jenis karawitan ini ada persilangan gaya karawitan yang ditunjukan oleh empat kerajaan di Jawa ini. Puro mangkunegaran yang letaknya berdekatan dengan Surakarta mengembangkan kesenian khususnya Kerawitan yang cenderung mirip dengan gaya karawitan Yogyakarta. Sedangkan Pakualaman yang letaknya di Yogyakarta cenderung meniru karawitan gaya Kasunanan Surakarta. Perbedaan antara kesenian empat kerajaan ini mungkin dilakukan untuk menciptakan identitas yang berbeda melalui kesenian. Dan untuk menunjukan jika baik Mangkunegaran yang letahnya di Surakarta maupun Pakualaman yang letaknya di Yogyakarta mampu menciptakan gaya tersendiri yang berbeda. Hal ini juga dapat menunjukan kekuasaan raja dalam kesenian.

Upaya Pura mangkunegaran untuk membedakan kesenian dengan gaya kesenian Kraton kasunanan sangatlah mungkin , mengingat mangkunegaran yang memiliki kedudukan dibawah kraton dan harus membedakan kerawitan dengan gaya kraton. (Sosodoro, 2013:66)

Perbedaan karawitan selain pada tabuhan gending  seperti yang disebutkan diatas. Perbedaan juga dapat ditemukan pada bentuk Gendhing, dimana Gendhing gaya Mangkunegaran memiliki gaya yang khusus yaitu Cakepan atau syair melekat langsung dan tidak dapat dipisahkan dari gendhing. Cakepan menjadi identitas yang tidak bisa terpisahkan dari Gendhing. Sedangkan pada Gendhing-gendhing ciptaan Kasunanan Surakarta gendhing dan cakepan selalu terpisahkan.



  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...