Ø IDENTITAS
BUKU :
Judul
buku : GERAKAN RAKYAT KELAPARAN
(Gagalnya Politik Radikalisasi Petani)
Penulis
: Fadjar Pratikto
Penerbit : Media Pressindo bekerja sama dengan
yayasan Adikarya IKAPI
Kota
terbit : Yogyakarta
Tahun
terbit : 2000
Tebal
halaman : xxxvi + 224
Ø ISI
BUKU
Buku
ini menceritakan sebuah Gerakan dari masyarakat termarjinalkan yang gagal.
Gerakan ini berupa gerakan yang agresif dan radikal dari para petani yang
mengalami kegagalan panen dan terserang virus HO di daerah pedesaan di Gunung Kidul.
Gerakan ini berbau unsure politik yang dibalut dengan keadaan rakyat yang
menyedihkan sebagai momentum meletusnya gerakan. Namun pada hakekatnya gerakan
ini dimotori oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk menjatuhkan
wibawa kelompok lain yang berkuasa.
Gerakan
rakyat di daerah Gunung Kidul ini
merupakan sebuah upaya untuk melakukan perubahan terhadap sebuah tatanan
kehidupan yang dianggap kacau balau. Gerakan ini muncul akibat kekacauan dari
berbagai segi kehidupan. Pertama akibat Kekacauan dalam bidang
ekonomi yang melanda Indonesia khususnya daerah Gunung Kidul hal ini
diakibatkan karena kemerosotan hasil panen.
“Pada
masa itu produksi padi di Jawa mengalami kemrosotan terus menerus sebagai
rangkaian kegagalan panen, serta berkemabangnya penduduk yang pesat. Pada masa
itu produksi padi menurun hampir 14% dibanding produksi tahun 1940.”
(Hlm. 2)
Kekacauan
ekonomi yang lebih parah dialami oleh daerah Gunung Kidul karena:
1. Kondisi
alamnya yang sangat extreme.
Tanah daerah ini
sebagian besar merupakan tanah kapur yang tandus dan tidak dapat meyimpan air.
Oleh karena itu rakyat tidak dapat memanfaatkannya sebagai tanah pertanian,
ditambah saat musim kemarau tiba daerah ini sering mengalami kekeringan hebat.
“
Daerah Gunung Kidul dikenal sebagai daerah yang sering kali kekurangan
air dan bahan pangan, serta sebagian besar rakyatnya hidup dibawah garis
kemiskinan, merupakan kabupaten yang paling miskin di DIY”
(Hlm. 29) “ ….. sebagian besar daerah ini
berbukit-bukit dan tandus maka hanya sedikit tanah disana yang bisa dijadikan
lahan pertanian rakyat.”
(Hlm.32)
2. Kesalahan
Penganbilan dan Penerapan Kebijakan oleh Pemerintahan
Krisi
Ekonomi dan kekurangan pangan ini secara tidak langsung juga disebabkan oleh
kesalah pemerintah dalam pembuatan kebijakan. Misalnya saja pembuatan
Undang-undang Ordonasi Beras.
“ Sedangkan faktor
lain yang mempengarui kelangkaan pangan yaitu terbatanya persediaan pangan
dipasaran sejak diberlakukanya Ordonasi Beras tahun 1948, dimana perusahaan
penggilingan beras dalam skala besar tidak dipebolehkan beroperasi bebas.”
(Hal 4).
Kesalahan
dalam penerapan kebijakan juga terjadi di pedesaan Gunung Kidul. Hal ini dapat
dilihat dalam upaya pemerintah meningkatkan hasil pertanian dengan cara
Intersifikasi pertanian. Program ini mengalami kegagalan dan membuat para
petani menjadi kurang bersimpati kepada PNI yang awalnya mendukung program
tersebut. Namun PKI yang juga mendukung program tersebut tidak begitu mengalami
krisis kepercayaan karen BTI dan PKI mampu membuat alasan yang bersifat
structural mengapa program tersebut gagal
“ Hal ini disebabkan
mereka (BTI) pandai membuat alasan yan gbersifat structural dan dapat diterima
oleh petani seperti hubungan kegagalan program tersebut dengan pola penguasaan
tanah yang pincang, adanya sabotase dari ‘tujuh setan desa’ dan sebagainya.”
(Hlm.89)
3. Penerapan
sistem Pertanian yang salah
Kelangkaan
pangan juga dialami karena daerah Gunung Kidul merupakan daerah yang sering
mengalami kekeringan karena struktur tanahnya yang tidak bisa menyimpan air.
Oleh karena itu masyarakat menggunakan Sistem pertanian berdasarkan siklus
mongso. Akibat dari sistem ini masyarakat tidak dapat memaksimalkan hasil
produksi
“
Dengan sistem tersebut (Sistem Mongso), persoalan yang muncul adalah kurang
bisa maksimalnya hasil produksi pertanian (Padi), karena petani hanya bisa
memanen padi sekali dalam setahun.” (Hlm. 41)
4. Sistem
Ijon yang merugikan rakyat.
Sistem
ijon adalah sebuah sistem untuk
membeli hasil pertanian sebelum hasil itu siap dipanen. Hal ini dikarenakan
petani maupun penggarap sudah tidak memegang uang pada saat masa panen belum
tiba. Akibatnya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka terpaksa menjual
tanamanya yang belum siap panen. Karena menjual tanaman yang elum siap panen
harga hasil pertanian ini lebih murah dari pada harga biasanya.
“ Dalam
hubungan-hubungan sosial dan produksi sistem ijon tidak dianggap sebagai suatu
persoalan oleh penduduk desa, meskipun secara obyektif dan ekonomis sistem ini
sangat merugikan petani.”(hal. 55)
Yang
kedua akibat kekacauan dalam bidang sosial
yang ditunjukan den Pola Penguasaan tanah pertanian yang sebagian besar
dikuasai oleh para tuan tanah. Sistem sosial di pedesaan Gunung Kidul tidak
jauh berbeda dengan sistem sosial di Pedesaan Jawa lainya. Mereka menggunakan
pemilikan tanah sebagai dasar menentukan status sosial. Dan sebagaian besar
tanah dikuasai oleh Tuan tanah
“ Dalam konteks
pedesaan gunung kidul hampir mayoritas petaninya adalah petani gurem yang
memiliki tanah yang sempit (kurang dari satu hektar) dan tidak subur, petani
penyakap yang menyewa tanah pada tuan-tuan tanah atau kas desa yang berdasarkan
sistem bagi hasil” (hlm. 32).
Dengan
adanya pola penguasaan tanah yang dikuasai oleh para anggota masyaratak yang
menduduki stratifikasi tingkat atas inilah menyebabkan adanya polarisasi sosial
ekonomi.
“Konsekwensi logis dari
pengelompokan kelas sosial berdasarkan pemilikan dan penguasaan tanah tersebut
adalah terjadinya polarisasi sosial dan ekonomi dalam masyarakat desa yang
cukup tajam. Hal ini disebabkan karena distribusi kekayaan desa lebih banyak dipegang
oleh kelas sosial atas seperti tuan tanah, petani kaya dan pejabat desa,
sedangkan kelas sosial bawah seperti petani gurem, penyakap, dan buruh tani
hanya mendapat tetesan yang sedikit sehingga mereka tetap hidup dibawah garis
kemiskinan.” (hlm.
39-40)
Pola penguasaan tanah yang pincang dan
hanya dimiliki sebagian kelompok ini nantinya akan dijadikan isu-isu untuk
merebut simpati rakyat. Hal ini juga yang dilakukan BTI pada saat kegagalan
program Intensifikasi pertanian. Mereka membuat alasan jika kegagalan program
yang mereka dukung itu akibat pola penguaan tanah yang pincang.
“ Hal ini
disebabkan mereka (BTI) pandai membuat alasan yan gbersifat structural dan
dapat diterima oleh petani seperti hubungan kegagalan program tersebut dengan
pola penguasaan tanah yang pincang, adanya sabotase dari ‘tujuh setan desa’ dan
sebagainya.” (Hlm.89)
Yang ketiga adalah Kekacauan di
bidang Politik. Kekacauan dibidang politik ini mulai
terjadi akibat dikeluarkanya makluman tanggal 3 november 1945 tentang pembentukan
partai-partai politik. Setelah itu mulailah bermunculan partai-partai politik
seperti PKI, Masyumi, PNI, dan Gerinda yang merupakan partai local daerah DIY.
Partai-partai ini berlomba untuk menanamkan pengaruhnya di Pedesaan Gunung
Kidul. Dengan banyaknya Partai dan ormas yang merebutkan kekuasaan didaerah ini
malka perpecahan didalam masyarakat pedesaan Gunung Kidul sendiri mulai
terlihat.
“ Sebelum adanya partai politik
didesa-desa, pertentangan anatara berbagai kelompok sosial dimayarakat tidaklah
begitu terlihat, namun dengan keberadaan mereka (partai politik) pertentangan
itu menjadi semakin terbuka karena orang kemudian lebih condong berkelompok
atas dasar afiliasi politiknya. Perubaan tersebut membawa masyarakat desa ke
kancah politk nasionla yang penuh dengan persaingan.”
(Hlm. 82)
Partai politik melakukan
propaganda-propaganda untuk mencari dukungan rakyat melalui pendirian-pendirian
organisasi-organisasi petani dan buruh. Seperti PKI yang mendirikan BTI dan PNI
yang mendirikan PETANI. Domonasi PKI melalui BTI menimbulkan keresahan
tersendiri terhadap SSPP (Sareka Sekerja Pamong Praja) yang secara politik
lebih dekat dengan PNI.
“Membesarnya masa BTI
selanjutnya menjadi ancaman bagi keberadaan para pamong praja dan pempinan PNI
cabang Gunung Kidul.” (Hlm.
87)
Salah satu contok konflik politik adalah
Konflik antara PKI dan PNI di daerah ngawen. Daerah ngawen yang sebelumnya
merupakan daerah enclave di Surakarta dihapuskan berdasarkan Undang-undang no
14 tahun 1958 menjadi kecamatan Ngawen kabupaten Gunung Kidul. Dengan
penghapusan daerah enclave ini timbulah masalah yang berkaitan dengan masalah
pemilihan lurah dan pamong desa. Dengan pecabutan status enclave di daerah ini
orang-orang PNI yang sebelumnya menduduki posisi-posisi penting digantikan oleh
PKI. Hal ini menyebabkan PNI melakukan protes. Dengan adanya protes ini
berimbas tidak diakuinya pamong-pamong desa di kecamatan Ngawen. Keadaan ini
akirnya memperburuk konflik politik local PNI dan PKI digunung Kidul, yang
berimplikasi juga kedarah pedesaan antara PETANI dan BTI.
Contoh konnflik politik lainya adalah
perpecah dalam Tubuh PGRI menjadi dua yaitu PGRI yang berada dibawah PNI dan PGRI Non-Vak Sentral dibawah PKI. Kedua
organisasi ini berusaha memanfaatkan sekolaj sebagai ajang kepentingan
politiknya dengan mengadakan propaganda-propaganda.
Konflik politik antara kedua partai ini
semakin menjadi karen kedua partai ini memiliki Ideologi politik dan perilaku
politik yang berbeda. PNI berideologi komunis mereka lebih condong merebut
simpati melalui propaganda-propaganda Nasionalis yang menjunjung kewibawaan
Negara. Sedangkan PKI merupakan partai berideologi Komunis yang melakukan
propaganda-propaganda dengan menyerukan penyetaraan kedudukan dan kekayaan
dengan seloganya sama rasa sama rata. Kedua partai ini juga saling menjegal
dalam urusan pembuatan kebijakan. Sehingga konflik diantara dua partai kini
semakin memanas.
Puncak terjadinya gerakan masyarakat
yang termarjinalkan ini sendiri terjadi pada saat PKI dan BTI membuat sebuah
komite yang bernama Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak, atau ditulis Gerayak)
pada tahun 1964 yang beranggotakan para pamong desa, guru sekolah serta petani.
Komite ini muncul pertama kalidalam aksi demostrasi di kantor bupati Gunung
kidul pada januari 1964 yang menuntut penyelesaian masalah kelaparan.
“Pada awal 1964,
PKI, BTI membuat sebuah komite yang bernama : Gerakan Rakjat Kelaparan. Yang
beranggotakan tokoh masyarakat, guru sekolah dasar dan petani”
(hlm.
138)
Ada beberapa versi mengenai latar
belakang munculnya Gerayak ini yang diungkapkan oleh dua penguasa politikm
besar yang jelas sangat bertentangan dan saling menjatuhkan. Yang pertama merupakan versi dari PNI dan KSI
yang menyebutkan jika Gerayak merupakan Move Politik PKI atas ketidak puasan
terhadap susunan pemerintahan daerah baru yang berdasar Penpres No. 6/1959,
dimana telah dilakukan centralisasi kekuasaan ditangan Bupati, Kekecewaan tersebut akirnya menemukan
momentumnya dalam peristiwa bencana kelaparan dan wabah HO pata tahun 1964.
Sedangkan Versi kedua dikemukakan oleh PKI,
Gerayak melakukan aksinya karena kecewa terhadap kasus peristiwa gaplek beracun
yang telah menyebababkan kematian pada beberpa orang, serta penanganan terhadap
kasus yang kurang tegas. Peristiwa
tepung gaplek beracun merupakan momentum bagi PKI dan BTI untuk melakukan move
politik demi kepentingan kekuasaan didaerah gunung kidul, atau tidaknya melatih
militansi anggota.
Namun
dalam peristiwa demonstrasi ini Bupati dapat meredam radikalisme petani dengan
memberikan penjelasan sebenarnya mengenai peristiwa gaplek beracun tersebut dan
memenui tuntutan mereka untuk memberikan bantuan secara Cuma-Cuma, serta
mengatasi masalah kelaparan.
Setelah gagal dalam melakukan aksi
demonstrasi Gerayak menemukan usahanya sendiri untuk mensejahterakan anggota
dan merebut simpati rakyat yaitu dengan melakukan perampasan kekayaan orang
kaya dan membagikanya kepada anggota yang kelaparan.
“ Namun dalam
perkembangan selanjutnya gerayak melakukan gerakan secara sporadis dalam
kelompok-kelompok kecil antara 5-6 orang dengan mendatangi ornag-orang kaya dan
meminta hartanya. Hasil gerakan dibagikan kepada anggota PKI dan BTI yang
kelaparan” (hlm. 165)
Ada beberapa hal yang membuat gerakan
ini gagal. Yang pertama karena muncul gerakan Grayak atau penggedoran yang lebih menggunakan kekerasan dan
criminal sehingga menjatuhkan nama Gerayak. Yang kedua karena Gerayak merupakan
suatu tindakan politik yang bersifat spontan dan kurang terorganisir sehingga
mudah diatasi oleh pihak keamanan.
Karena para tokoh Gerayak ditangkap PNI dan BTI membubarkan komite ini
karena dinilai sudah tidak menguntungkan secara politis. Dengan demikian
Gerayak sebagai suatu startegi politik di Gunung Kidul secara umum tidak
berhasil memperhebat ketegangan kelas sosial didaerah pedesaan, serta tidak
mampu menjadi sebuah gerakan politik terpadu bagi petani.
Ø Unsur-Unsur Intervensi
Jika dilihat dari isi dalam buku
ini tidak ada unsure-unsur intervensi dalam penulisan. Karena dalam buku ini
disusun berdasarkan data-data dan juga melihat kejadian-kejadian dari berbagai
sudut pandang. Baik itu sudut pandang Politik seperti penyebab gerakan rakyat
kelaparan yang dikaji dari sudut pandnag ekonomi dan juga politik. Dan juga
diungkapkan pula dua versi tentang latar belakang terjadinya gerakan rakyat
kelaparan dari dua kekuatan politik besar di daerah gunung kidul sehingga dapat
memberikan pilihan kepada pembaca untuk memilih versi mana yang lebih benar.
Selain itu dalam tulisan ini lebih menekankan tentang diskripsi keadaan daerah
Gunung kidul dan jalanya gerakan secara murni tanpa ada penambahan-penambaha.
Jika dilihat dari Penulisnya dan
jenis tulisanya. Tulisan ini merupakan tulisan Skripsi yang ditulis mahasiswa
untuk memenui tugas akir dan mendapatkan gelar Sarjana Sosial yang kemudian di
terbitkan. Tentulah dalam penulisan skripsi tidak akan dijumpai upaya-upaya
intervensi untuk membelokan sejarah karena dalam tulisan skripsi yang merupakan
penelitian untuk keperluan akademik sangat sedikit upaya intervensi yang
dilakukan dan lebih menekankan pada pengembangan khasanah keilmuan.
Ø Khasanah
Keilmuan
Buku ini begitu menyumbang khasanah
keilmuan khususnya untuk sejarah politik. Karena sebelumnya sejarah politik
hanya berkutat dengan upaya perebutan kekuasaan Negara di pusat pemerintahan
yang digerakan oleh orang-orang hebat yang memiliki kekuasaan dan pendidikan
yang tinggi. Namun ketika membaca buku ini dapat kita pahami jika Masyarakat
yang termarjinalkan juga memiliki potensi untuk melakukan sebuah gerakan
revolusi demi mengubah tatanan perpolitikan yang ada. Dengan membaca buku ini
tentulah kita dapat menyimpulkan jika politik tidak hanya bisa digerakan oleh
penguasa-penguasa dipusat melainkan juga oleh rakyat-rakyat miskin yang
kelaparan didaerah-daerah.
Selain itu dengan membaca buku ini
kita juga dapat memahami cara-cara sebuah partai politik untuk mendapatkan
dukungan atau simpati untuk mencapai kekuasaan. Selain itu kita juga dapat
mengetahui gerakan-gerakan politik local yang ada didaerah-daerah yang
sebelumnya tidak pernah diungkap dalam buku-buku karena kebanyakan buku-buku
hanya menyoroti fenomena nasional bukan fenomena lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...