Senin, 19 Januari 2015

Resensi buku Gerakan Rakyat kelaparan


Ø  IDENTITAS BUKU :
Judul buku      : GERAKAN RAKYAT KELAPARAN (Gagalnya Politik Radikalisasi Petani)
Penulis             : Fadjar Pratikto
Penerbit           : Media Pressindo bekerja sama dengan yayasan Adikarya IKAPI
Kota terbit       : Yogyakarta
Tahun terbit     : 2000
Tebal halaman : xxxvi + 224
Ø  ISI BUKU
Buku ini menceritakan sebuah Gerakan dari masyarakat termarjinalkan yang gagal. Gerakan ini berupa gerakan yang agresif dan radikal dari para petani yang mengalami kegagalan panen dan terserang virus HO di daerah pedesaan di Gunung Kidul. Gerakan ini berbau unsure politik yang dibalut dengan keadaan rakyat yang menyedihkan sebagai momentum meletusnya gerakan. Namun pada hakekatnya gerakan ini dimotori oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk menjatuhkan wibawa kelompok lain yang berkuasa.
Gerakan rakyat di daerah Gunung Kidul ini  merupakan sebuah upaya untuk melakukan perubahan terhadap sebuah tatanan kehidupan yang dianggap kacau balau. Gerakan ini muncul akibat kekacauan dari berbagai segi kehidupan. Pertama akibat Kekacauan dalam bidang ekonomi yang melanda Indonesia khususnya daerah Gunung Kidul hal ini diakibatkan karena kemerosotan hasil panen.
“Pada masa itu produksi padi di Jawa mengalami kemrosotan terus menerus sebagai rangkaian kegagalan panen, serta berkemabangnya penduduk yang pesat. Pada masa itu produksi padi menurun hampir 14% dibanding produksi tahun 1940.” (Hlm. 2)
Kekacauan ekonomi yang lebih parah dialami oleh daerah Gunung Kidul karena:
1.    Kondisi alamnya yang sangat extreme.
Tanah daerah ini sebagian besar merupakan tanah kapur yang tandus dan tidak dapat meyimpan air. Oleh karena itu rakyat tidak dapat memanfaatkannya sebagai tanah pertanian, ditambah saat musim kemarau tiba daerah ini sering mengalami kekeringan hebat.
          Daerah Gunung Kidul dikenal sebagai daerah yang sering kali kekurangan air dan bahan pangan, serta sebagian besar rakyatnya hidup dibawah garis kemiskinan, merupakan kabupaten yang paling miskin di DIY (Hlm. 29) “ ….. sebagian besar daerah ini berbukit-bukit dan tandus maka hanya sedikit tanah disana yang bisa dijadikan lahan pertanian rakyat.” (Hlm.32) 
2.    Kesalahan Penganbilan dan Penerapan Kebijakan oleh Pemerintahan
Krisi Ekonomi dan kekurangan pangan ini secara tidak langsung juga disebabkan oleh kesalah pemerintah dalam pembuatan kebijakan. Misalnya saja pembuatan Undang-undang Ordonasi Beras.
“ Sedangkan faktor lain yang mempengarui kelangkaan pangan yaitu terbatanya persediaan pangan dipasaran sejak diberlakukanya Ordonasi Beras tahun 1948, dimana perusahaan penggilingan beras dalam skala besar tidak dipebolehkan beroperasi bebas.” (Hal 4).
Kesalahan dalam penerapan kebijakan juga terjadi di pedesaan Gunung Kidul. Hal ini dapat dilihat dalam upaya pemerintah meningkatkan hasil pertanian dengan cara Intersifikasi pertanian. Program ini mengalami kegagalan dan membuat para petani menjadi kurang bersimpati kepada PNI yang awalnya mendukung program tersebut. Namun PKI yang juga mendukung program tersebut tidak begitu mengalami krisis kepercayaan karen BTI dan PKI mampu membuat alasan yang bersifat structural mengapa program tersebut gagal
“ Hal ini disebabkan mereka (BTI) pandai membuat alasan yan gbersifat structural dan dapat diterima oleh petani seperti hubungan kegagalan program tersebut dengan pola penguasaan tanah yang pincang, adanya sabotase dari ‘tujuh setan desa’ dan sebagainya.” (Hlm.89)
3.    Penerapan sistem Pertanian yang salah
Kelangkaan pangan juga dialami karena daerah Gunung Kidul merupakan daerah yang sering mengalami kekeringan karena struktur tanahnya yang tidak bisa menyimpan air. Oleh karena itu masyarakat menggunakan Sistem pertanian berdasarkan siklus mongso. Akibat dari sistem ini masyarakat tidak dapat memaksimalkan hasil produksi
“ Dengan sistem tersebut (Sistem Mongso), persoalan yang muncul adalah kurang bisa maksimalnya hasil produksi pertanian (Padi), karena petani hanya bisa memanen padi sekali dalam setahun.” (Hlm. 41)
4.      Sistem Ijon yang merugikan rakyat.
Sistem ijon adalah sebuah sistem untuk membeli hasil pertanian sebelum hasil itu siap dipanen. Hal ini dikarenakan petani maupun penggarap sudah tidak memegang uang pada saat masa panen belum tiba. Akibatnya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka terpaksa menjual tanamanya yang belum siap panen. Karena menjual tanaman yang elum siap panen harga hasil pertanian ini lebih murah dari pada harga biasanya.
Dalam hubungan-hubungan sosial dan produksi sistem ijon tidak dianggap sebagai suatu persoalan oleh penduduk desa, meskipun secara obyektif dan ekonomis sistem ini sangat merugikan petani.”(hal. 55)
Yang kedua akibat kekacauan dalam bidang sosial yang ditunjukan den Pola Penguasaan tanah pertanian yang sebagian besar dikuasai oleh para tuan tanah. Sistem sosial di pedesaan Gunung Kidul tidak jauh berbeda dengan sistem sosial di Pedesaan Jawa lainya. Mereka menggunakan pemilikan tanah sebagai dasar menentukan status sosial. Dan sebagaian besar tanah dikuasai oleh Tuan tanah
“ Dalam konteks pedesaan gunung kidul hampir mayoritas petaninya adalah petani gurem yang memiliki tanah yang sempit (kurang dari satu hektar) dan tidak subur, petani penyakap yang menyewa tanah pada tuan-tuan tanah atau kas desa yang berdasarkan sistem bagi hasil” (hlm. 32).
Dengan adanya pola penguasaan tanah yang dikuasai oleh para anggota masyaratak yang menduduki stratifikasi tingkat atas inilah menyebabkan adanya polarisasi sosial ekonomi.
Konsekwensi logis dari pengelompokan kelas sosial berdasarkan pemilikan dan penguasaan tanah tersebut adalah terjadinya polarisasi sosial dan ekonomi dalam masyarakat desa yang cukup tajam. Hal ini disebabkan karena distribusi kekayaan desa lebih banyak dipegang oleh kelas sosial atas seperti tuan tanah, petani kaya dan pejabat desa, sedangkan kelas sosial bawah seperti petani gurem, penyakap, dan buruh tani hanya mendapat tetesan yang sedikit sehingga mereka tetap hidup dibawah garis kemiskinan.”  (hlm. 39-40)
Pola penguasaan tanah yang pincang dan hanya dimiliki sebagian kelompok ini nantinya akan dijadikan isu-isu untuk merebut simpati rakyat. Hal ini juga yang dilakukan BTI pada saat kegagalan program Intensifikasi pertanian. Mereka membuat alasan jika kegagalan program yang mereka dukung itu akibat pola penguaan tanah yang pincang.
“ Hal ini disebabkan mereka (BTI) pandai membuat alasan yan gbersifat structural dan dapat diterima oleh petani seperti hubungan kegagalan program tersebut dengan pola penguasaan tanah yang pincang, adanya sabotase dari ‘tujuh setan desa’ dan sebagainya.” (Hlm.89)
Yang ketiga adalah Kekacauan di bidang Politik. Kekacauan dibidang politik ini mulai terjadi akibat dikeluarkanya makluman tanggal 3 november 1945 tentang pembentukan partai-partai politik. Setelah itu mulailah bermunculan partai-partai politik seperti PKI, Masyumi, PNI, dan Gerinda yang merupakan partai local daerah DIY. Partai-partai ini berlomba untuk menanamkan pengaruhnya di Pedesaan Gunung Kidul. Dengan banyaknya Partai dan ormas yang merebutkan kekuasaan didaerah ini malka perpecahan didalam masyarakat pedesaan Gunung Kidul sendiri mulai terlihat.
“ Sebelum adanya partai politik didesa-desa, pertentangan anatara berbagai kelompok sosial dimayarakat tidaklah begitu terlihat, namun dengan keberadaan mereka (partai politik) pertentangan itu menjadi semakin terbuka karena orang kemudian lebih condong berkelompok atas dasar afiliasi politiknya. Perubaan tersebut membawa masyarakat desa ke kancah politk nasionla yang penuh dengan persaingan.” (Hlm. 82)
Partai politik melakukan propaganda-propaganda untuk mencari dukungan rakyat melalui pendirian-pendirian organisasi-organisasi petani dan buruh. Seperti PKI yang mendirikan BTI dan PNI yang mendirikan PETANI. Domonasi PKI melalui BTI menimbulkan keresahan tersendiri terhadap SSPP (Sareka Sekerja Pamong Praja) yang secara politik lebih dekat dengan PNI.
Membesarnya masa BTI selanjutnya menjadi ancaman bagi keberadaan para pamong praja dan pempinan PNI cabang Gunung Kidul.” (Hlm. 87)
Salah satu contok konflik politik adalah Konflik antara PKI dan PNI di daerah ngawen. Daerah ngawen yang sebelumnya merupakan daerah enclave di Surakarta dihapuskan berdasarkan Undang-undang no 14 tahun 1958 menjadi kecamatan Ngawen kabupaten Gunung Kidul. Dengan penghapusan daerah enclave ini timbulah masalah yang berkaitan dengan masalah pemilihan lurah dan pamong desa. Dengan pecabutan status enclave di daerah ini orang-orang PNI yang sebelumnya menduduki posisi-posisi penting digantikan oleh PKI. Hal ini menyebabkan PNI melakukan protes. Dengan adanya protes ini berimbas tidak diakuinya pamong-pamong desa di kecamatan Ngawen. Keadaan ini akirnya memperburuk konflik politik local PNI dan PKI digunung Kidul, yang berimplikasi juga kedarah pedesaan antara PETANI dan BTI.
Contoh konnflik politik lainya adalah perpecah dalam Tubuh PGRI menjadi dua yaitu PGRI yang berada dibawah PNI  dan PGRI Non-Vak Sentral dibawah PKI. Kedua organisasi ini berusaha memanfaatkan sekolaj sebagai ajang kepentingan politiknya dengan mengadakan propaganda-propaganda.
Konflik politik antara kedua partai ini semakin menjadi karen kedua partai ini memiliki Ideologi politik dan perilaku politik yang berbeda. PNI berideologi komunis mereka lebih condong merebut simpati melalui propaganda-propaganda Nasionalis yang menjunjung kewibawaan Negara. Sedangkan PKI merupakan partai berideologi Komunis yang melakukan propaganda-propaganda dengan menyerukan penyetaraan kedudukan dan kekayaan dengan seloganya sama rasa sama rata. Kedua partai ini juga saling menjegal dalam urusan pembuatan kebijakan. Sehingga konflik diantara dua partai kini semakin memanas.
Puncak terjadinya gerakan masyarakat yang termarjinalkan ini sendiri terjadi pada saat PKI dan BTI membuat sebuah komite yang bernama Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak, atau ditulis Gerayak) pada tahun 1964 yang beranggotakan para pamong desa, guru sekolah serta petani. Komite ini muncul pertama kalidalam aksi demostrasi di kantor bupati Gunung kidul pada januari 1964 yang menuntut penyelesaian masalah kelaparan.
“Pada awal 1964, PKI, BTI membuat sebuah komite yang bernama : Gerakan Rakjat Kelaparan. Yang beranggotakan tokoh masyarakat, guru sekolah dasar dan petani” (hlm. 138)
Ada beberapa versi mengenai latar belakang munculnya Gerayak ini yang diungkapkan oleh dua penguasa politikm besar yang jelas sangat bertentangan dan saling menjatuhkan.  Yang pertama merupakan versi dari PNI dan KSI yang menyebutkan jika Gerayak merupakan Move Politik PKI atas ketidak puasan terhadap susunan pemerintahan daerah baru yang berdasar Penpres No. 6/1959, dimana telah dilakukan centralisasi kekuasaan ditangan Bupati,  Kekecewaan tersebut akirnya menemukan momentumnya dalam peristiwa bencana kelaparan dan wabah HO pata tahun 1964.
 Sedangkan Versi kedua dikemukakan oleh PKI, Gerayak melakukan aksinya karena kecewa terhadap kasus peristiwa gaplek beracun yang telah menyebababkan kematian pada beberpa orang, serta penanganan terhadap kasus yang kurang tegas.  Peristiwa tepung gaplek beracun merupakan momentum bagi PKI dan BTI untuk melakukan move politik demi kepentingan kekuasaan didaerah gunung kidul, atau tidaknya melatih militansi anggota.
            Namun dalam peristiwa demonstrasi ini Bupati dapat meredam radikalisme petani dengan memberikan penjelasan sebenarnya mengenai peristiwa gaplek beracun tersebut dan memenui tuntutan mereka untuk memberikan bantuan secara Cuma-Cuma, serta mengatasi masalah kelaparan.
Setelah gagal dalam melakukan aksi demonstrasi Gerayak menemukan usahanya sendiri untuk mensejahterakan anggota dan merebut simpati rakyat yaitu dengan melakukan perampasan kekayaan orang kaya dan membagikanya kepada anggota yang kelaparan.
“ Namun dalam perkembangan selanjutnya gerayak melakukan gerakan secara sporadis dalam kelompok-kelompok kecil antara 5-6 orang dengan mendatangi ornag-orang kaya dan meminta hartanya. Hasil gerakan dibagikan kepada anggota PKI dan BTI yang kelaparan” (hlm. 165)
Ada beberapa hal yang membuat gerakan ini gagal. Yang pertama karena muncul gerakan Grayak atau penggedoran yang lebih menggunakan kekerasan dan criminal sehingga menjatuhkan nama Gerayak. Yang kedua karena Gerayak merupakan suatu tindakan politik yang bersifat spontan dan kurang terorganisir sehingga mudah diatasi oleh pihak keamanan.  Karena para tokoh Gerayak ditangkap PNI dan BTI membubarkan komite ini karena dinilai sudah tidak menguntungkan secara politis. Dengan demikian Gerayak sebagai suatu startegi politik di Gunung Kidul secara umum tidak berhasil memperhebat ketegangan kelas sosial didaerah pedesaan, serta tidak mampu menjadi sebuah gerakan politik terpadu bagi petani.

Ø   Unsur-Unsur Intervensi
Jika dilihat dari isi dalam buku ini tidak ada unsure-unsur intervensi dalam penulisan. Karena dalam buku ini disusun berdasarkan data-data dan juga melihat kejadian-kejadian dari berbagai sudut pandang. Baik itu sudut pandang Politik seperti penyebab gerakan rakyat kelaparan yang dikaji dari sudut pandnag ekonomi dan juga politik. Dan juga diungkapkan pula dua versi tentang latar belakang terjadinya gerakan rakyat kelaparan dari dua kekuatan politik besar di daerah gunung kidul sehingga dapat memberikan pilihan kepada pembaca untuk memilih versi mana yang lebih benar. Selain itu dalam tulisan ini lebih menekankan tentang diskripsi keadaan daerah Gunung kidul dan jalanya gerakan secara murni tanpa ada penambahan-penambaha.
Jika dilihat dari Penulisnya dan jenis tulisanya. Tulisan ini merupakan tulisan Skripsi yang ditulis mahasiswa untuk memenui tugas akir dan mendapatkan gelar Sarjana Sosial yang kemudian di terbitkan. Tentulah dalam penulisan skripsi tidak akan dijumpai upaya-upaya intervensi untuk membelokan sejarah karena dalam tulisan skripsi yang merupakan penelitian untuk keperluan akademik sangat sedikit upaya intervensi yang dilakukan dan lebih menekankan pada pengembangan  khasanah keilmuan. 

Ø  Khasanah Keilmuan
Buku ini begitu menyumbang khasanah keilmuan khususnya untuk sejarah politik. Karena sebelumnya sejarah politik hanya berkutat dengan upaya perebutan kekuasaan Negara di pusat pemerintahan yang digerakan oleh orang-orang hebat yang memiliki kekuasaan dan pendidikan yang tinggi. Namun ketika membaca buku ini dapat kita pahami jika Masyarakat yang termarjinalkan juga memiliki potensi untuk melakukan sebuah gerakan revolusi demi mengubah tatanan perpolitikan yang ada. Dengan membaca buku ini tentulah kita dapat menyimpulkan jika politik tidak hanya bisa digerakan oleh penguasa-penguasa dipusat melainkan juga oleh rakyat-rakyat miskin yang kelaparan didaerah-daerah.
Selain itu dengan membaca buku ini kita juga dapat memahami cara-cara sebuah partai politik untuk mendapatkan dukungan atau simpati untuk mencapai kekuasaan. Selain itu kita juga dapat mengetahui gerakan-gerakan politik local yang ada didaerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah diungkap dalam buku-buku karena kebanyakan buku-buku hanya menyoroti fenomena nasional bukan fenomena lokal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...