Selasa, 16 Desember 2014

Akulturasi budaya pada makam sunan Gresik Oleh tata dan lili




AKULTURASI BUDAYA DI MAKAM SUNAN GRESIK

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur-unsur dasar dari kebudayaan tersebut.[1] Kebudayaan adalah  hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat, karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang dibutuhkan manusia  untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan atau hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.[2]
Berpangkal dari pendapat diatas, akulturasi dapat dinyatakan dalam bagan seperti dibawah ini,

Budaya Islam
 +
Budaya Hindu-Buddha
+
Akulturasi Budaya Islam-Hindu-Buddha
 








Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Indonesia sudah terlebih dahulu berkembang kebudayaan Hindu dan Buddha. Bahkan jauh sebelum itu di Indonesia sudah berkembang kepercayaan yang dianggap sebagai kepercayaan asli nenek moyang Indonesia, yaitu animisme dan dinamisme.[3] R. Soekmono menyatakan dari adanya menhir, dolmen, dan sebagainya diperoleh kesan, bahwa pemujaan roh nenek moyang memunyai tempat penting pula dalam kehidupan sehari-hari. Hasil-hasil budaya pada masa prasejarah nampaknya terus dipertahankan dalam proses asimilasi kebudayaan, sehingga sampai saat ini kita masih mendapati punden berundak yang menjadi fundamen dari bangunan candi. Atau pun meru pada bentuk atap tumpang suatu masjid.[4]
Islam sebagai agama yang baru tidak langsung merubah kebudayaan dan kepercayaan lama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Suatu kebudayaan tidak mungkin langsung memengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Untuk menyebarkan agama Islam, maka digunakan pendekatan-pendekatan budaya. Para penyebar agama Islam (waliyullah) memasukan nilai-nilai ajaran Islam sedikit demi sedikit melalui budaya yang sudah ada di masyarakat. Perlahan-lahan terjadilah akulturasi antara agama Islam dengan kebudayaan dan kepercayaan masyarakat sekitar. Adanya akulturasi dalam Islam dibenarkan dan dapat diterima, sepanjang unsur-unsur yang diadaptasikannya tidak bertentangan dengan aqidah Islam.[5] Dalam kaitannya dengan kebudayaan Jawa, Prof. Kuntowijoyo bahkan memberikan pernyataan bahwa budaya Jawa menunjukkan sikap sinkretik terhadap pengaruh Islam akibat masih kuatnya keinginan untuk mempertahankan tradisi-tradisi pra-Islam.[6]
Contoh nyata akulturasi dapat kita lihat dari cara Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam. Ia mengggunakan media wayang kulit yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, tetapi menyisispkan prinsip-prinsip agama Islam dalam pertunjukan wayang yang dimainkan.[7] Begitu pula dengan upacara Sekaten yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta. Pada upacara Sekaten, terdapat tradisi mengarak dan memperebutkan gunungan. Gunungan sendiri sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan.[8] Dalam hal ini, gunungan merupakan konsep agama Hindu, sementara doa yang dilantunkan sebelum mengarak gunungan merupakan konsep agama Islam. Contoh-contoh semacam ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam lebih efektif melalui jalur budaya daripada kekerasan/pemaksaan.
Kebudayaan memiliki tiga (3) wujud yaitu dari ide, kegiatan, dan artefak.[9] Wujud ide sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Sedangkan wujud kedua berupa tindakan (aktivitas) yang merupakan tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sementara yang ketiga berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat.[10] Menganalisis akulturasi yang terdapat di makam Sunan Gresik (Syeh Maulana Malik Ibrahim), akan lebih mudah serta sistematis apabila menggunakan tiga variabel wujud budaya tersebut. Dengan demikian akan memberikan gambaran terpadu tentang kaitan antara budaya ide yang menghilhami munculnya budaya aktivitas serta artefak.

  1. Akulturasi Budaya yang dapat dilihat dari arsitektur makam Sunan Gresik
Makam merupakan tempat peristirahatan terakhir. Apabila diklasifikasikan, makam termasuk kebudayaan yang berwujud artefak atau benda.  Menurut peraturan (ajaran) agama Islam, jika seseorang meninggal mayatnya harus dimandikan agar bersih, kemudian dibungkus dengan kafan yaitu kain putih yang tidak dijahit. Setelah itu disalatkan. Dan mayatnya ditanam (dikubur) di tempat yang telah ditentukan.[11] Namun tidak jarang pula makam-makam ini diberi hiasan. Hal ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap keluarga yang sudah tidak ada. Tidak jarang pula pemberian hiasan ini sebagai legitimasi jika yang di baringkan di tempat ini merupakan orang yang penting atau yang berpengaruh.
Seperti halnya makam-makam lain, makam Sunan Gresik yang merupakan makam-makam tertua juga memiliki hiasan atau ornamen-ornamen tertentu yang berbeda dengan hiasan di makam-makam lain. Walaupun diketahui makam Sunan Gresik berbeda dari makam-makam sunan-sunan lain, di mana makam-makam sunan lain sudah mengadopsi unsur kebudayaan Indonesia kuno berupa punden berundak sedangkan makam Sunan Gresik tidak menggunakan konsep tersebut. Namun masih terlihat beberapa unsur budaya, seperti halnya :

1.1.Unsur  Budaya Islam
Unsur budaya Islam adalah unsur yang paling dominan di antara unsur budaya yang lain. Unsur budaya ini terdapat di inskripsi jirat nisan Sunan Gresik. Memang mengenai jirat dan nisan ini memiliki beberapa pendapat tentang asalnya. Yang pertama adalah pendapat, jika inskripsi dan nisan berasal dari Pasai. Pendapat ini didasarkan pada bingkai nisan yang tertulis surat al-Baqarah ayat 225 atau yang sering disebut surat Kursi, Surat Ali Imran ayat 185, surat al-Rahman 26-27, dan surat al-Tauban ayat 21-22. Susunan prasasti dan pencantuman ayat Kursi menunjukan persamaan dengan beberapa makam di Pasai.[12]
Pendapat yang kedua menurut J.P. Moquette menyatakan jika nisan dari Persia berdasarkan bentuk jirat dan nisan, serta gaya dalam kaligrafinya menujukan persamaan dengan kaligrafi nisan-nisan di Cambay, India.  Walaupun banyak perbedaan pendapat dari para ahli tentang asal jirat namun yang terlihat jelas adalah unsur budaya Islam yang terlihat dari kaligrafi yang ada di makam. Yang menggunakan huruf Arab seperti huruf dalam Al-Quran dan Hadist. Hal ini jelas menunjukan budaya Islam.

1.2.Unsur Budaya Hindu-Buddha
Di makam Sunan Gresik ini, kita juga menjumpai beberapa anasir yang menunjukkan budaya masa klasik. Sesuai dengan jiwa zaman kala itu, ketika Jawa masih terdapat dominasi agama Hindu-Buddha, makam Islam layaknya makam Sunan Gresik pun tidak luput dari campuran kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam. Unsur Budaya Hindu-Buddha terlihat dari :
1.2.1.      Gapura Paduraksa
Paduraksa adalah bangunan yang berupa gerbang namun diatasnya terdapat atap.[13] Bangunan yang mirip dengan candi ini, disebut pula dengan Kori Agung.[14] Di daerah Bali disebut Pamedal Agung. Kata Kori berasal dari bahasa Jawa, bermakna “pintu atau daun pintu dari kayu”, sedangkan Agung berarti “besar.”[15] Paduraksa merupakan pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antar kawasan dalam kompleks bangunan khusus seperti keraton, makam dan candi.  Dapat kita tafsirkan pula bahwa gapura paduraksa merupakan pintu gerbang khusus untuk memasuki suatu bagian yang paling sakral atau suci.[16] Prof. Aminuddin Kasdi dalam bukunya, “Kepurbakalaan Sunan Giri”, juga mengungkapkan hal senada bahwa Kori Agung, merupakan pintu masuk ke kelompok bangunan yang tersakral sebagai bangunan utama.[17] Paduraksa ditempatkan di halaman tengah, tepatnya di halaman kedua dan ketiga.[18] Dalam konsep agama Hindu, paduraksa memiliki makna, apabila seorang akan memasuki tempat suci diharapkan telah menyatukan seluruh fikiran yang terkait dengan hal yang baik.
1.2.2.      Banyak nisan (penanda kubur) yang mengelompok
Sama dengan konsep candi, makam merupakan tempat kediaman terakhir yang abadi. Diusahakan pula untuk menjadi perumahan yang sesuai dengan orang-orang yang dikuburkan disitu dengan alam yang sudah berganti. Seakan-akan makam itu disamakan dengan orangnya lengkap dengan keluarga serta orang-orang yang ada disekitarnya. Seperti halnya dengan makam Sunan Gresik yang terdapat banyak nisan yang berada di area pemakaman. Nisan-nisan itu adalah nisan dari keluarga serta para murid.[19]
Dari makam-makam Islam tertua dapat dilihat adanya dua macam bentuk makam. Yaitu buatan asing dan makam Indonesia. Jenis pertama adalah jirat-jirat yang dibuat di luar negeri, sebagai barang jadi kemudian diperdagangkan di Indonesia. Misalnya, makam-makam di Pasei (Pasai) dan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik ini. Makam buatan asing lazim disebut sebagai jirat, tidak memakai nisan, sedang pada makam Indonesia nisan itu menduduki tempat penting.[20]
Terkait dengan nisan itu sendiri, pendapat Bernet Kempers seperti yang dikutip Prof. Aminuddin Kasdi, bahwa pemujaan arwah leluhur, pada zaman Megalitik segi-segi materilnya digambarkan dalam bentuk menhir. Menhir kemudian menjadi prototipe batu-batu prasasti. Pada periode berikutnya, tradisi pembuatan instrumen ritual itu berlanjut dalam bentuk-bentuk batu nisan pada makam-makam Islam.[21]
Dalam pandangan masyarakat kita, para wali itu, pada masa hidupnya dianggap memiliki status, martabat, dan akhlak yang mulia, ilmu sudah sedemikian tinggi, jauh melebihi manusia biasa. Kelebihan-kelebihan itu dipercaya sebagai petunjuk bahwa wali-wali tersebut telah mencapai derajat dekat dengan Allah (Arab : muqarrabin).[22] Maka dalam hal ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nisan-nisan kubur yang cenderung mengelompok dengan Sunan Gresik (di sekitarnya) juga dipengaruhi oleh pemikiran tadi. Mereka ingin mendekatkan si mati dengan wali yang mereka anggap memiliki karamah agar mendapat kemuliaan pula di sisi Tuhan.
1.2.3.      Terdapat musala dan tempat mengaji
Musala dan tempat untuk mengaji menunjukan upaya untuk meneruskan konsep agama Hindu seperti halnya dengan candi yang digunakan sebagai tempat penguburan dan pemujaan. Begitu pula dengan makam ini yang digunakan sebagai tempat penguburan dan tempat untuk berdoa.

1.3.Unsur Budaya Jawa
Unsur budaya Jawa ditunjukan dengan Prasasti Pendekyang terdapat di sisi kanan bawah gapura. Prasati ini bertuliskan aksara Jawa Kuno yang menunjukan tahun 1340 Saka (1419 Masehi). Tulisan Jawa ini juga terdapat pada sisi atas paduraksa.

      2.            Akulturasi Budaya yang dilihat dari aktifitas masyarakat sekitar makam
Bentuk kebudayaan yang lain adalah aktivitas manusia. Makan Sunan Gresik merupakan makam yang dikeramatkan, tentu terdapat banyak aktivitas di tempat ini. Melalui aktivitas-aktivitas disekitar makam ini, dapat diamati akulturasi yang terjadi.
2.1.Budaya Ziarah
Ziarah adalah aktivitas mengunjungi makam. Ziarah semacam ini dilakukan terhadap makam orang tua atau keluarga sendiri. Ziarah dilakukan untuk instropeksi diri jika suatu saat nanti akan kembali ke hadirat yang Maha Kuasa. Selain itu juga untuk mengingat kebesaran Tuhan dan mendoakan agar arwah keluarga tersebut diterima dan mendapatkan rahmatNya. Selain itu ziarah juga dimaksudkan untuk menjaga agar pemakaman yang menjadi kenang-kenangan terakhir orang yang telah meninggal itu tetap terawat dan memperjelas silsilah keluarga.
Di beberapa daerah ziarah dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Seperti halnya di Pulau Jawa sebagai contoh adalah makam Ki Ageng Perwito yang terletak di desa Ngreden, Kecamatan Wonosari, Klaten yang selalu ramai ketika Jumat Wage. Atau makam-makam di Jawa yang ramai dikunjungi pada bulan Ruwah atau Sura dalam penanggalan Jawa. Secara umum makam-makam di Indonesia selalu ramai dikunjungi peziarah ketika mendekati bulan Puasa dan Lebaran.
Namun, untuk makam para Wali penyebar agama Islam selalu ramai setiap hari.Namun untuk Sunan Gresik sendiri banyak dikunjungi terlebih lagi ketika malam Jumat Legi.  Kunjungan terhadap makam atau ziarah ini ternyata sejalan dengan apa yang sudah dilakukan pada masa Hindu-Buddha, yaitu mengunjungi candi atau tempat suci lainya dengan maksud melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Menurut Soekmono, dengan demikian mudahlah dipahami jika ziarah menjadi kesempatan untuk meneruskan kebiasaan lama, sehingga apa yang dilarang oleh agama Islam yaitu pemujaan terhadap sesuatu selain Allah dapat dilakukan kembali. Pemujaan ini terlebih-lebih ditunjukan kepada orang yang mempunyai kedudukan lebih dari manusia biasa seperti raja, wali, dan pemuka agama yang termasyur.[23]
Mereka sering menyampaikan keinginannya di makam tersebut. Karena terkadang manusia merasa jaraknya dengan Allah begitu jauh sehingga mereka merasa harapanya dan keinginanya tidak tersampaikan. Oleh karena itu manusia menjadikan mereka yang sudah dekat dengan Allah sebagai perantara untuk menyampaikan keinginan. Mereka yang sudah dekat adalah nenek moyang dan para wali yang sudah lebih dahulu menghadap Allah. Lebih-lebih para wali yang semasa hidupnya sudah memiliki kelebihan-kelebihan yang menunjukan kedekatanya dengan Allah. (udah fix)
2.2.Budaya Khaul
Budaya Khaul merupakan budaya memperingati satu tahun meninggalnya seseorang. Khaul atau yang dalam bahasa Jawa Kol ialah selamatan setahun sekali pada makam-makam yang dianggap keramat. Macamnya selamatan ialah diutamakan makan yang menjadi kegemaran si mati pada waktu hidupnya dulu. Biasanya ditambah dengan memuji-muji kebaikan si mati pada waktu masih hidupnya dulu.[24]
Secara bahasa kata “khaul” berasal dari bahasa Arab, Haala-Yahuulu-Haulan yang artinya setahun atau masa yang sudah mencapai satu tahun. Secara kultural, “khaul” ialah peringatan hari kematian seorang tokoh masyarakat, seperti syaikh, wali, sunan, kiai, habib dan lain-lain yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan tanggal wafatnya. Untuk mengenang jasa-jasa, karomah, akhlaq, dan keutamaan mereka.

Rangkaian acara haul
Untuk menyemarakkan khaul banyak sekali acara yang diselenggarakan. Rangkaian acara khaul berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun acara inti khaul di setiap daerah tidak terlepas dari tiga poin berikut yaitu :
  1. Membaca Al-Qur’an, dzikir, dan tahlilan secara berjamaah, serta doa bersama.
  2. Mengadakan pengajian, ceramah agama, pembacaan biografi/sejarah hidup dan karomah-karomah tokoh yang di khauli.
  3. Menghidangkan makanan dan minuman.

Tujuan diadakannya khaul
Adapun tujuan haul adalah untuk mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh yang di khauli terhadap umat dan agama.

Asal-usul khaul dalam sejarah Islam
Sebenarnya, acara khaul tidak dikenal dalam syariat Islam. Khaul tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sahabat, tabiin, dan tabiut-tabiin. Peringatan tersebut tidak pula dikenal oleh imam-imam madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad. Karena memang perayaan ini adalah perkara baru dalam agama Islam. Adapun yang pertama kali mengadakan khaul dalam sejarah Islam adalah kelompok Rofidhoh (Syiah) yang sesat dan menyesatkan, mereka menjadikan hari kematian Husain pada bulan Asyuro sebagai hari besar yang diperingati.
Khaul adalah doa dan sedekah. Khaul merupakan media untuk mengambil teladan dan meneladani, serta memohon keberkahan. Dari beberapa keterangan, kata khaul ini awalnya muncul dari dunia pesantren yang pada perkembanganya menjadi memasyarakat sebab khaul selalu di isi dengan pelbagai agenda salah satunya adalah pengajian umum yang mendatangkan mubaligh. Dari sinilah khaul mulai dikenal masyarakat.
Pada perkembangannya, kata “khaul” kemudian seringkali dimaknai sebagai kegiatan ritual keagamaan tahunan untuk memperingati hari meninggalnya orang yang dicintai atau orang yang diagungkan dan itu merupakan kebiasaan pesantren pada umumnya untuk mengenang jasa dan meneladani seorang kiai atau gurunya. Dari sinilah yang awalnya khaul diadakan untuk mengenang dan meneladani seorang kiai oleh santri pondok pesantren, berkembang dengan beberapa agenda kegiatan dari ziarah  ke makam, tahlilan, hataman dan ditutup dengan pengajian umum. Kini menjadi sebuah tradisi memasyarakat
Khaul di makam Sunan Gresik dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul Awal (tertera pada batu nisan) serta bertepatan dengan tanggal lahir Rasulullah saw, lebih tepatnya setiap hari Jumat Legi. Pada acara khaul tersebut dilakukan khataman Al-Quran dan mauludan (pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad). Ada menu khas yang disajikan adalah bubur harisah. Bubur harisah itu bubur yang dibuat dari daging kambing dan dikasih bumbu dari Arab.


***

Daftar Pustaka BAB III
1.      Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
2.      Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
3.      Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta : Kanisius
4.      Purwadi, dkk. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Walisongo. Jakarta : Kompas
5.      Akbar, Muhammad Ali. 1980. Perbandingan Hidup Secara Islam Dengan Tradisi di Pulau Jawa. Bandung : PT Alma’arif
6.      R. Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta : Kanisius
7.      Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
8.      Kasdi, Aminuddin. 2005. Kepurbakalaan Sunan Giri. Surabaya : Unesa Univerty Press
9.      Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Wali Songo. Depok : Pustaka Iiman
10.  Fredy Heryanto. 2009. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta : Warna Grafika
11.  Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia : J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V.
12.  Budiman, Amen & Hartojo. 1982. Kompleks Makam Ratu Kalinyamat Mantingan-Jepara. Semarang : Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Tengah


[1]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Rineka Cipta, Jakarta, 2009), hal. 284
[2]Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Sosiologi Suatu Pengantar oleh Soerjono Soekanto (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982), hal. 151
[3] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, (Kanisius, Yogyakarta, 1973), hal. 82
[4] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009), hal. 239
[5] Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri, (Unesa University Press, Surabaya, 2005), hal. 56
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Mizan, Bandung, 1999), hal. 236
[7] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Pustaka Iiman, Depok, 2012), hal. 136. Menarik bahwa dalam tulisannya, Agus Sunyoto mengungkapkan banyak hal tentang unsur-unsur budaya Jawa, yang digunakan dalam metode dakwah para wali (Wali Sanga). Di halaman yang dimaksud ini, Agus Sunyoto menjelaskan bahwa Sultan Demak pertama, setelah mempertimbangkan masak-masak dengan beberapa orang dari para wali tentang keberadaan seni pertunjukan wayang, memutuskan sembilan hal terkait dengan metode dakwah pendekatan budaya.
[8] Fredy Heryanto, Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Warna Grafika, Yogyakarta, 2009), hal. 29
[9] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Rineka Cipta, Jakarta, 2009), hal. 150
[10] Ibid., hal. 151
[11] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Kanisius, Yogyakarta, 1973), hal. 82
[12]Purwadi dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Walisongo, (Kompas, Jakarta, 2006), hal. Xxx. Inskripsi nisan berbunyi  : “Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengaharapkan kepada rahmat Tuhanya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wasir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syaid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikanya. Semoga Allah melimpahkannya disurga. Beliau wafat pada hari senin 12 Rabiul awwal 822 Hjriah”. 
[13] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009), hal. 242
[14] Ibid.,
[15] W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa, (J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V., Batavia, 1939), hal. 4 & 246
[16] Amen Budiman & Hartojo, Kompleks Makam Ratu Kalinyamat Mantingan-Jepara, (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Tengah, Semarang, 1982), hal. 2
[17] Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri, (Unesa University Press, Surabaya, 2005), hal. 96
[18] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009), hal. 242
[19] R. Soekmono, Pengantar kebudayaan Indonesia 3, (Kanisius, Yogyakarta, 1873), hal. 83.
[20] Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri, (Unesa University Press, Surabaya, 2005), hal. 104
[21] Ibid.,
[22] Ibid., hal. 105
[23]R. Soekmono, Pengantar kebudayaan Indonesia 3, (Jakarta : Penerbit Kanisius. 1973), hal. 85
[24]Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islam Dengan Tradisi di Pulau Jawa, (PT Alma’arif, Bandung, 1980), hal. 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...