AKULTURASI BUDAYA DI MAKAM SUNAN GRESIK
Akulturasi adalah
proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya unsur-unsur dasar dari kebudayaan tersebut.[1] Kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat,
karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah yang dibutuhkan manusia untuk
menguasai alam sekitarnya agar kekuatan atau hasilnya dapat diabadikan untuk
keperluan masyarakat.[2]
Berpangkal dari pendapat diatas, akulturasi dapat dinyatakan dalam bagan
seperti dibawah ini,
Budaya
Islam
+
|
Budaya
Hindu-Buddha
+
|
Akulturasi
Budaya Islam-Hindu-Buddha
|
Sebelum Islam masuk ke
Indonesia,
di Indonesia sudah terlebih dahulu berkembang kebudayaan Hindu dan Buddha.
Bahkan jauh sebelum itu di Indonesia sudah berkembang kepercayaan yang dianggap
sebagai kepercayaan asli nenek
moyang Indonesia,
yaitu animisme dan dinamisme.[3] R. Soekmono menyatakan dari adanya menhir, dolmen, dan
sebagainya diperoleh kesan, bahwa pemujaan roh nenek moyang memunyai tempat
penting pula dalam kehidupan sehari-hari. Hasil-hasil budaya pada masa
prasejarah nampaknya terus dipertahankan dalam proses asimilasi kebudayaan,
sehingga sampai saat ini kita masih mendapati punden berundak yang menjadi fundamen
dari bangunan candi. Atau pun meru pada bentuk atap tumpang suatu
masjid.[4]
Islam sebagai agama yang baru tidak langsung merubah kebudayaan dan
kepercayaan lama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Suatu kebudayaan tidak mungkin langsung
memengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Untuk menyebarkan agama Islam, maka digunakan pendekatan-pendekatan budaya.
Para penyebar agama Islam (waliyullah)
memasukan
nilai-nilai ajaran Islam sedikit demi sedikit melalui budaya yang
sudah ada di masyarakat. Perlahan-lahan terjadilah akulturasi antara agama Islam dengan
kebudayaan dan kepercayaan masyarakat sekitar. Adanya akulturasi dalam Islam dibenarkan dan dapat
diterima, sepanjang unsur-unsur yang diadaptasikannya tidak bertentangan dengan
aqidah Islam.[5] Dalam
kaitannya dengan kebudayaan Jawa, Prof. Kuntowijoyo bahkan memberikan
pernyataan bahwa budaya Jawa menunjukkan sikap sinkretik terhadap pengaruh
Islam akibat masih kuatnya keinginan untuk mempertahankan tradisi-tradisi
pra-Islam.[6]
Contoh
nyata akulturasi dapat kita lihat dari cara Sunan Kalijaga
menyebarkan agama Islam. Ia mengggunakan media wayang kulit yang sebelumnya
sudah dikenal masyarakat, tetapi menyisispkan prinsip-prinsip agama Islam dalam
pertunjukan wayang yang dimainkan.[7] Begitu pula dengan upacara Sekaten yang
ada di Keraton
Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta.
Pada upacara Sekaten, terdapat tradisi mengarak dan
memperebutkan gunungan. Gunungan sendiri sebagai simbol kemakmuran dan
kesejahteraan kerajaan.[8]
Dalam hal ini, gunungan merupakan konsep agama Hindu, sementara doa yang
dilantunkan sebelum mengarak gunungan merupakan konsep agama Islam. Contoh-contoh
semacam ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam lebih efektif melalui
jalur budaya daripada kekerasan/pemaksaan.
Kebudayaan memiliki
tiga (3) wujud yaitu dari ide, kegiatan, dan artefak.[9] Wujud ide sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau
difoto. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu
masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Sedangkan wujud kedua berupa
tindakan (aktivitas) yang merupakan tindakan berpola dari manusia itu sendiri.
Sementara yang ketiga berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat.[10]
Menganalisis akulturasi yang terdapat di makam Sunan Gresik (Syeh Maulana Malik
Ibrahim), akan lebih mudah serta sistematis apabila menggunakan tiga variabel
wujud budaya tersebut. Dengan demikian akan memberikan gambaran terpadu tentang
kaitan antara budaya ide yang menghilhami munculnya budaya aktivitas serta
artefak.
- Akulturasi Budaya yang dapat dilihat dari arsitektur makam Sunan Gresik
Makam merupakan tempat
peristirahatan terakhir.
Apabila diklasifikasikan, makam termasuk kebudayaan yang berwujud
artefak atau benda. Menurut peraturan (ajaran) agama Islam, jika seseorang meninggal mayatnya harus dimandikan agar
bersih, kemudian dibungkus dengan kafan yaitu kain putih yang tidak dijahit.
Setelah itu disalatkan.
Dan mayatnya ditanam (dikubur) di
tempat yang telah ditentukan.[11] Namun tidak jarang pula makam-makam ini
diberi hiasan. Hal ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap keluarga yang
sudah tidak ada. Tidak jarang pula pemberian hiasan ini sebagai legitimasi jika
yang di baringkan di tempat ini merupakan orang yang penting atau yang
berpengaruh.
Seperti halnya
makam-makam lain, makam
Sunan Gresik yang merupakan makam-makam tertua juga memiliki hiasan atau
ornamen-ornamen tertentu yang berbeda dengan hiasan di makam-makam lain. Walaupun diketahui
makam Sunan Gresik berbeda dari makam-makam sunan-sunan lain, di mana makam-makam sunan lain sudah mengadopsi unsur
kebudayaan Indonesia kuno berupa punden berundak sedangkan makam Sunan Gresik
tidak menggunakan konsep tersebut. Namun masih terlihat beberapa unsur budaya,
seperti halnya :
1.1.Unsur
Budaya Islam
Unsur budaya Islam
adalah unsur yang paling dominan di antara unsur budaya yang lain. Unsur budaya
ini terdapat di inskripsi
jirat nisan Sunan Gresik. Memang mengenai jirat dan nisan ini memiliki beberapa
pendapat tentang asalnya. Yang pertama adalah pendapat, jika inskripsi dan nisan berasal dari
Pasai. Pendapat ini didasarkan pada bingkai nisan yang tertulis surat
al-Baqarah ayat 225 atau yang sering disebut surat Kursi, Surat Ali Imran ayat
185, surat al-Rahman 26-27, dan surat al-Tauban ayat 21-22. Susunan prasasti
dan pencantuman ayat Kursi menunjukan persamaan dengan beberapa makam di Pasai.[12]
Pendapat yang kedua menurut J.P. Moquette menyatakan jika
nisan dari Persia berdasarkan bentuk jirat dan nisan, serta gaya dalam
kaligrafinya menujukan persamaan dengan kaligrafi nisan-nisan di Cambay, India. Walaupun banyak perbedaan
pendapat dari para ahli tentang asal jirat namun yang terlihat jelas adalah unsur budaya Islam yang terlihat dari kaligrafi yang
ada di makam. Yang menggunakan huruf Arab seperti huruf dalam Al-Quran dan
Hadist. Hal ini jelas menunjukan budaya Islam.
1.2.Unsur Budaya Hindu-Buddha
Di makam Sunan Gresik ini, kita juga menjumpai beberapa
anasir yang menunjukkan budaya masa klasik. Sesuai dengan jiwa zaman kala itu,
ketika Jawa masih terdapat dominasi agama Hindu-Buddha, makam Islam layaknya
makam Sunan Gresik pun tidak luput dari campuran kebudayaan Hindu-Buddha dan
Islam. Unsur Budaya Hindu-Buddha terlihat dari :
1.2.1.
Gapura
Paduraksa
Paduraksa
adalah bangunan yang berupa gerbang namun diatasnya terdapat atap.[13]
Bangunan yang mirip dengan candi ini, disebut pula dengan
Kori Agung.[14]
Di daerah Bali disebut Pamedal Agung. Kata Kori berasal dari
bahasa Jawa, bermakna “pintu atau daun pintu dari kayu”, sedangkan Agung berarti
“besar.”[15] Paduraksa
merupakan pembatas
sekaligus gerbang akses penghubung antar kawasan dalam kompleks bangunan khusus
seperti keraton, makam dan candi. Dapat
kita tafsirkan pula bahwa gapura paduraksa merupakan pintu gerbang khusus untuk
memasuki suatu bagian yang paling sakral atau suci.[16] Prof. Aminuddin Kasdi dalam
bukunya, “Kepurbakalaan Sunan Giri”, juga mengungkapkan hal senada bahwa Kori
Agung, merupakan pintu masuk ke kelompok bangunan yang tersakral sebagai
bangunan utama.[17] Paduraksa ditempatkan di
halaman tengah, tepatnya di halaman kedua dan ketiga.[18] Dalam konsep agama Hindu, paduraksa memiliki makna, apabila
seorang akan memasuki tempat suci diharapkan telah menyatukan seluruh fikiran
yang terkait dengan hal yang baik.
1.2.2.
Banyak nisan (penanda kubur) yang mengelompok
Sama
dengan konsep candi, makam merupakan tempat kediaman terakhir yang abadi. Diusahakan pula untuk menjadi perumahan
yang sesuai dengan orang-orang yang dikuburkan disitu dengan alam yang sudah
berganti. Seakan-akan makam itu disamakan dengan orangnya lengkap dengan
keluarga serta orang-orang yang ada disekitarnya. Seperti halnya dengan makam
Sunan Gresik yang terdapat banyak nisan yang berada di area pemakaman. Nisan-nisan itu adalah
nisan dari keluarga serta para murid.[19]
Dari makam-makam Islam tertua dapat dilihat adanya dua
macam bentuk makam. Yaitu buatan asing dan makam Indonesia. Jenis pertama
adalah jirat-jirat yang dibuat di luar negeri, sebagai barang jadi kemudian
diperdagangkan di Indonesia. Misalnya, makam-makam di Pasei (Pasai) dan makam
Maulana Malik Ibrahim di Gresik ini. Makam buatan asing lazim disebut sebagai
jirat, tidak memakai nisan, sedang pada makam Indonesia nisan itu menduduki
tempat penting.[20]
Terkait dengan nisan itu sendiri, pendapat Bernet Kempers
seperti yang dikutip Prof. Aminuddin Kasdi, bahwa pemujaan arwah leluhur, pada
zaman Megalitik segi-segi materilnya digambarkan dalam bentuk menhir. Menhir
kemudian menjadi prototipe batu-batu prasasti. Pada periode berikutnya, tradisi
pembuatan instrumen ritual itu berlanjut dalam bentuk-bentuk batu nisan pada
makam-makam Islam.[21]
Dalam pandangan masyarakat kita, para wali itu, pada masa
hidupnya dianggap memiliki status, martabat, dan akhlak yang mulia, ilmu sudah
sedemikian tinggi, jauh melebihi manusia biasa. Kelebihan-kelebihan itu
dipercaya sebagai petunjuk bahwa wali-wali tersebut telah mencapai derajat
dekat dengan Allah (Arab : muqarrabin).[22]
Maka dalam hal ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nisan-nisan kubur yang
cenderung mengelompok dengan Sunan Gresik (di sekitarnya) juga dipengaruhi oleh
pemikiran tadi. Mereka ingin mendekatkan si mati dengan wali yang mereka anggap
memiliki karamah agar mendapat kemuliaan pula di sisi Tuhan.
1.2.3.
Terdapat musala
dan tempat mengaji
Musala dan tempat untuk mengaji menunjukan
upaya untuk meneruskan konsep agama Hindu seperti halnya dengan candi yang
digunakan sebagai tempat penguburan dan pemujaan. Begitu pula dengan makam ini yang digunakan sebagai tempat
penguburan dan tempat untuk berdoa.
1.3.Unsur Budaya Jawa
Unsur
budaya Jawa
ditunjukan dengan “Prasasti
Pendek” yang terdapat di sisi kanan bawah
gapura. Prasati ini bertuliskan aksara Jawa
Kuno yang menunjukan tahun 1340 Saka (1419 Masehi). Tulisan Jawa ini juga terdapat pada sisi atas
paduraksa.
2.
Akulturasi
Budaya yang dilihat dari aktifitas masyarakat sekitar makam
Bentuk kebudayaan yang
lain adalah aktivitas
manusia. Makan Sunan Gresik merupakan
makam yang dikeramatkan, tentu
terdapat banyak aktivitas
di tempat ini. Melalui aktivitas-aktivitas disekitar makam ini, dapat diamati akulturasi yang terjadi.
2.1.Budaya
Ziarah
Ziarah
adalah aktivitas mengunjungi makam. Ziarah semacam ini dilakukan terhadap makam
orang tua atau keluarga sendiri.
Ziarah dilakukan untuk instropeksi diri jika suatu saat nanti akan kembali ke
hadirat yang Maha Kuasa. Selain itu juga untuk mengingat kebesaran Tuhan dan
mendoakan agar arwah keluarga tersebut diterima dan mendapatkan rahmatNya.
Selain itu ziarah juga dimaksudkan untuk menjaga agar pemakaman yang menjadi
kenang-kenangan terakhir orang yang telah meninggal itu tetap terawat dan
memperjelas silsilah keluarga.
Di beberapa daerah ziarah dilakukan pada
waktu-waktu tertentu. Seperti halnya di Pulau
Jawa sebagai contoh adalah makam Ki Ageng
Perwito yang terletak di desa Ngreden, Kecamatan
Wonosari, Klaten yang selalu ramai ketika Jumat Wage. Atau makam-makam
di Jawa yang ramai
dikunjungi pada bulan Ruwah atau Sura dalam penanggalan Jawa.
Secara umum makam-makam di Indonesia selalu ramai dikunjungi peziarah ketika
mendekati bulan Puasa dan Lebaran.
Namun, untuk makam para Wali penyebar agama
Islam selalu ramai
setiap hari.Namun untuk Sunan Gresik sendiri banyak dikunjungi terlebih lagi ketika malam Jumat Legi. Kunjungan terhadap makam atau ziarah ini
ternyata sejalan dengan apa yang sudah dilakukan pada masa Hindu-Buddha, yaitu
mengunjungi candi atau tempat suci lainya dengan maksud melakukan pemujaan
terhadap roh nenek moyang. Menurut Soekmono, dengan demikian mudahlah dipahami jika
ziarah menjadi kesempatan untuk meneruskan kebiasaan lama, sehingga apa yang
dilarang oleh agama Islam yaitu pemujaan terhadap sesuatu selain Allah dapat
dilakukan kembali. Pemujaan ini terlebih-lebih ditunjukan kepada orang yang
mempunyai kedudukan lebih dari manusia biasa seperti raja, wali, dan pemuka
agama yang termasyur.[23]
Mereka
sering menyampaikan keinginannya di makam
tersebut. Karena terkadang manusia merasa jaraknya dengan Allah begitu jauh
sehingga mereka merasa harapanya dan keinginanya tidak tersampaikan. Oleh karena itu manusia menjadikan mereka
yang sudah dekat dengan Allah sebagai
perantara untuk menyampaikan keinginan. Mereka yang sudah dekat adalah nenek
moyang dan para wali yang sudah lebih dahulu menghadap Allah. Lebih-lebih para
wali yang semasa hidupnya sudah memiliki kelebihan-kelebihan yang menunjukan
kedekatanya dengan Allah. (udah fix)
2.2.Budaya
Khaul
Budaya
Khaul merupakan budaya memperingati satu tahun meninggalnya seseorang. Khaul
atau yang dalam bahasa Jawa
Kol ialah selamatan setahun sekali
pada makam-makam yang dianggap keramat. Macamnya selamatan ialah diutamakan makan
yang menjadi kegemaran si mati
pada waktu hidupnya dulu. Biasanya ditambah dengan memuji-muji kebaikan si mati pada waktu masih hidupnya dulu.[24]
Secara bahasa kata “khaul” berasal dari bahasa Arab, Haala-Yahuulu-Haulan
yang artinya setahun atau masa yang sudah mencapai satu tahun. Secara
kultural, “khaul” ialah peringatan hari kematian
seorang tokoh masyarakat, seperti syaikh, wali, sunan, kiai, habib dan
lain-lain yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan tanggal wafatnya.
Untuk mengenang jasa-jasa, karomah, akhlaq, dan keutamaan mereka.
Rangkaian acara haul
Untuk
menyemarakkan khaul banyak sekali acara yang
diselenggarakan. Rangkaian acara khaul berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun acara inti khaul di
setiap daerah tidak terlepas dari tiga poin berikut yaitu :
- Membaca Al-Qur’an, dzikir, dan tahlilan secara berjamaah, serta doa bersama.
- Mengadakan pengajian, ceramah agama, pembacaan biografi/sejarah hidup dan karomah-karomah tokoh yang di khauli.
- Menghidangkan makanan dan minuman.
Tujuan diadakannya khaul
Adapun tujuan haul adalah untuk
mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh yang di khauli
terhadap umat dan agama.
Asal-usul khaul dalam
sejarah Islam
Sebenarnya, acara khaul tidak
dikenal dalam syariat Islam. Khaul tidak
ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
sahabat, tabiin, dan tabiut-tabiin. Peringatan tersebut tidak pula dikenal oleh
imam-imam madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafii, dan Imam Ahmad. Karena memang perayaan ini adalah perkara baru
dalam agama Islam. Adapun yang pertama kali mengadakan khaul dalam
sejarah Islam adalah kelompok Rofidhoh (Syiah) yang sesat dan
menyesatkan, mereka menjadikan hari kematian Husain pada bulan Asyuro
sebagai hari besar yang diperingati.
Khaul
adalah doa dan sedekah. Khaul
merupakan media untuk mengambil teladan dan meneladani, serta memohon
keberkahan. Dari beberapa keterangan, kata khaul ini awalnya muncul dari dunia
pesantren yang pada perkembanganya menjadi memasyarakat sebab khaul selalu di isi dengan pelbagai agenda salah satunya adalah
pengajian umum yang mendatangkan mubaligh.
Dari sinilah khaul
mulai dikenal masyarakat.
Pada perkembangannya,
kata “khaul” kemudian
seringkali dimaknai sebagai kegiatan ritual keagamaan tahunan untuk memperingati
hari meninggalnya orang yang dicintai atau orang yang diagungkan dan itu
merupakan kebiasaan pesantren pada umumnya untuk mengenang jasa dan meneladani
seorang kiai atau gurunya. Dari sinilah yang awalnya khaul diadakan untuk mengenang dan meneladani
seorang kiai oleh santri pondok pesantren, berkembang dengan beberapa agenda
kegiatan dari ziarah ke makam, tahlilan, hataman dan ditutup dengan
pengajian umum. Kini menjadi sebuah tradisi memasyarakat
Khaul
di makam Sunan Gresik dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul Awal (tertera pada
batu nisan) serta bertepatan dengan tanggal lahir Rasulullah saw, lebih tepatnya setiap hari Jumat Legi.
Pada acara khaul
tersebut dilakukan khataman Al-Quran dan mauludan
(pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad). Ada menu khas yang disajikan
adalah bubur harisah.
Bubur harisah itu bubur yang dibuat dari daging kambing dan dikasih bumbu dari
Arab.
***
Daftar Pustaka BAB III
1. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : Rineka Cipta
2. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
3. Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 3. Yogyakarta : Kanisius
4.
Purwadi,
dkk. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Walisongo. Jakarta : Kompas
5.
Akbar,
Muhammad Ali. 1980. Perbandingan Hidup Secara Islam Dengan Tradisi di Pulau
Jawa. Bandung : PT Alma’arif
6.
R.
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta :
Kanisius
7.
Tjandrasasmita,
Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia
8.
Kasdi,
Aminuddin. 2005. Kepurbakalaan Sunan Giri. Surabaya : Unesa Univerty
Press
9.
Sunyoto,
Agus. 2012. Atlas Wali Songo. Depok : Pustaka Iiman
10. Fredy Heryanto. 2009. Mengenal Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Yogyakarta : Warna Grafika
11. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa.
Batavia : J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V.
12. Budiman, Amen & Hartojo. 1982. Kompleks Makam Ratu
Kalinyamat Mantingan-Jepara. Semarang : Proyek Pengembangan Permuseuman
Jawa Tengah
[1]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (Rineka Cipta, Jakarta, 2009), hal. 284
[2]Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Sosiologi
Suatu Pengantar oleh Soerjono Soekanto (PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982), hal. 151
[3]
R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia 1, (Kanisius, Yogyakarta, 1973), hal. 82
[4] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam
Nusantara, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009), hal. 239
[5]
Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan
Giri, (Unesa University Press, Surabaya, 2005), hal. 56
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi
Untuk Aksi, (Mizan, Bandung, 1999), hal. 236
[7] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Pustaka
Iiman, Depok, 2012), hal. 136. Menarik bahwa dalam tulisannya, Agus Sunyoto
mengungkapkan banyak hal tentang unsur-unsur budaya Jawa, yang digunakan dalam
metode dakwah para wali (Wali Sanga). Di halaman yang dimaksud ini, Agus
Sunyoto menjelaskan bahwa Sultan Demak pertama, setelah mempertimbangkan
masak-masak dengan beberapa orang dari para wali tentang keberadaan seni
pertunjukan wayang, memutuskan sembilan hal terkait dengan metode dakwah
pendekatan budaya.
[8]
Fredy Heryanto, Mengenal Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, (Warna Grafika, Yogyakarta, 2009), hal. 29
[9] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (Rineka Cipta, Jakarta, 2009), hal. 150
[10]
Ibid., hal. 151
[11]
R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia 3, (Kanisius, Yogyakarta, 1973), hal. 82
[12]Purwadi dkk, Jejak
Para Wali
dan Ziarah Walisongo, (Kompas, Jakarta, 2006), hal. Xxx. Inskripsi nisan berbunyi : “Ini adalah makam almarhum seorang yang
dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengaharapkan kepada
rahmat Tuhanya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian
para Sultan dan Wasir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan
syaid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikanya.
Semoga Allah melimpahkannya disurga. Beliau wafat pada hari senin 12 Rabiul
awwal 822 Hjriah”.
[13] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam
Nusantara, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009), hal. 242
[14] Ibid.,
[15] W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa,
(J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V., Batavia, 1939), hal. 4 & 246
[16] Amen Budiman & Hartojo, Kompleks Makam
Ratu Kalinyamat Mantingan-Jepara, (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Tengah,
Semarang, 1982), hal. 2
[17]
Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan
Giri, (Unesa University Press, Surabaya, 2005), hal. 96
[18] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam
Nusantara, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009), hal. 242
[20]
Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan
Giri, (Unesa University Press, Surabaya, 2005), hal. 104
[21]
Ibid.,
[22]
Ibid., hal. 105
[24]Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup
Secara Islam Dengan Tradisi di Pulau Jawa, (PT Alma’arif, Bandung, 1980), hal.
170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...