Selasa, 16 Desember 2014

Sejarah lisan kabupaten klaten



SEJARAH LISAN DAN TRADISI LISAN
KABUPATEN KLATEN

Sejarah Lisan Asal Mula Nama Klaten
Kabupaten Klaten dahulu adalah daerah Swapraja Surakarta.  Sekarang Kabupaten Klaten merupakan wilayah Eks Karisidenan Surakarta. Kabupaten Klaten memeliki wilayah yang sangat strategis yaitu diantara dua kota besar yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta. Secara kultural Klaten merupakan wilayah yang terletak di Kerajaan Mataram Islam yang kemudian karena Perjanjian Giyanti kerajaan tersebut terpecah menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Untuk mengetahui asal mula nama  Kabupaten Klaten hanya di ceritakan melalui mulut kemulut dari orang tua kepada anaknya, dari guru kepada muridnya. Nama Kabupaten Klaten di ceritakan diambil dari nama Kyai Melati Sekolekan yang merupakan orang yang sangat berjasa membuat daerah yang awalnya hutan menjadi sebuah perkampungan yang aman dan tentram sehingga banyak orang yang datang kedaerah tersebut. Berikut cerita tentang asal mula nama Klaten.
Konon menurut cerita, Daerah Klaten kota dahulu adalah sebuah hutan belantara atau yang biasa di sebut alas dalam bahasa Jawanya.  Di daerah ini ada seorang pemuda yang bernama Melati Sekolekan yang sedang mengembara dan tinggal untuk beberapa waktu lamanya. Diceritakan Melati Sekolekan adalah seseorang yang sangat sakti ilmunya dan sangat di takuti di daerah tersebut. Menurut tradisi zaman dahulu, seseorang selalu ingin mengambara mencari kesaktian dan  mengadu kesaktianya dengan orang lain untuk medapakan gelar dan di hormati. Begitu pula Melati Sekolekan yang selalu ingin mengadu kesaktiaanya saat bertemu orang dalam pengembaraanya.
Setiap mengembara dan bertemu orang yang dirasanya memiliki kemampuan lebih, Melati Sekolekan selalu menantangnya berkelahi. Banyak orang yang sudah bertarung dengan dia dan banyak orang yang mengakui kesaktianya.   Suatu Ketika sunan Kalijaga, salah satu dari ulama dari Demak yang menyebarkan agama Islam di Jawa atau yang sering disebut dengan Walisongo melintasi tempat itu dan bertemu dengan Melati Sekolekan.
Seperti biasa jika bertemu dengan seorang pengembara Melati Sekolekan selalu ingin menantang  beradu kesaktian, Begitu pula saat bertemu dengan Sunan Kalijaga yang melintasi tempat itu. Dengan sedikit arogan Melati Sekolekan mengajak Sunan kalijaga bertanding. Namun akirnya pertarungan di menangkan oleh Sunan Kalijaga.
Melati Sekolekan merasa ilmu dan kesaktianya masih jauh dibawah Sunan Kalijaga, Oleh karena itu ia memohon kepada Sunan Kalijaga, Agar Sunan Kalijaga mau mengangkatnya menjadi murid. Sunan Kalijaga dengan penuh kebijaksanaan pun memaafkan sikap arogan Melati dan akirnya mengabulkan keinginan Melati Sekolekan ddan menjadikanya Murid.  Dan Melati Sekolekan pun memeluk agama Islam.
Dengan belajar beberapa ilmu agama dan ilmu untuk menjaga diri akirnya Melati Sekolekan menjadi orang yang berbudi sangat baik selain itu ia juga dikenal sebagai orang yang sakti. Oleh karena itu orang-orang di pedukuhan tempat ia tinggal menyebutnya sebai Kyai Melati Sekolekan. Karena Ilmu agama yang ia kuasai dari hasil bergutu pada sunan kalijaga dan kesaktianya pedukuhan yang di tinggalinya mejadi tentram dan aman. Para penjahat tidak mau melewati tempat itu karena segan dengan Kyai Melati Sekolekan.
Maka dalam waktu yang singkat darah tempat tinggal Kyai Melati Sekolekan menjadi daerah yang sangat ramai. Bagi warga Kyai Melati Sekolekan adalah sosok yang sangat di cintai rakyat. Hingga akhir hayatnya ia selalu mengabdi untuk rakya. Warga sangat kehilangan sosoknya. Maka untuk mengenang kepergian Kyai Melati Sekolekan Warga menamai desa mereka dengan nama Klaten.  Nama Klaten diambil dari Nama Melati. Karena orang Jwa susah menyebutnya makan sering terjadi perubahan pengucapan menjadi Klaten.  Sedangkan nama Belakang Kyai Sekolekan diambil untuk dijadikan nama desa tempat jenazah Kyai  Melati Sekolekan di kebumikan.
·         Munculnya Kabupaten Klaten berdasarkan catatan tertulis
Telah di uraikan diatas cerita bagaimana asal mula nama kabupatenn Klaten yang di ceritakan dari mulut kemulut. Namun dari sumber tertulis seperti prasasti dan sumber-sumber lain seperti candi menunjukan jika jauh sebelum muncul suatu kesatuan geopolitik yang bernama Klaten yang diambil dari nama Kyai Melati Sekolekan. Wilayah Klaten merupakan wilayah pendukung peradaban Hindu- Buddha di Indonesia.
Klaten merupakan daerah yang sudah sejak lama di tinggali penduduk. Bahkan sejak jaman Hindu-Buddha. Pada masa Hindu-Budha Klaten memegang peranan yang cukup besar. Pada zaman itu Klaten masuk kedalam Kerajaan Mataram kuno sebelum berpindah ke jawa timur. Banyak bukti sejarah yang ditemukan di Klaten misalnya candi, prasasti, dan benda-benda dari logam. Selain itu ada beberapa nama daerah yang keberadaanya dapat di telusuri dan memiliki kedekatan penamaan dengan nama daerah pada zaman kerajaan seperti seperti Puluwatu (Sekarang Desa Puluh Watu), Gumulan (Desa Gumulan, Kalikotes), Wadihati (DesaWedi), Mirah-Mirah (Desa Muruh) dan Upit (Ngupit Kecamatan Ngawen). Hal ini menunjukan peranan Klaten dalam peradaban Hindu-Buddha. Selain itu juga terdapat prasasti yang dapat menguak peranan Kabupaten Klaten dalam peradaban yaitu prasasti Upit yang dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi sebagai bukti pendirian desa Upit sebagai desa pardikan dengan bertanggal 11 Nopember 866 masehi
Pada masa kerajaan Islam seperti Mataram, Pajang dan Demak, daerah Klaten termasuk kedalam daerah Negaragung atau Negara Agung.  Banyak kisah-kisah tentang Klaten yang terdokumentasikan baik dalam bentuk babad seperti babad tanah jawa maupun babad mataran juga dalam cerita-cerita rakyat yang di sampaikan secara lisan. Namun hingga akir abad 18 belum ada penyebutan nama Klaten secara resmi.[1]
Penyebutan Klaten secara resmi barulah dimulai pada saat pemerintahan colonial membangun membangun sebuah benteng atau dalam bahasa daerah setempat disebut dengan Loji di desa tersebut. Benteng ini dimaksudkan sebagai pusat kekuasaan pemerintahan colonial. Karena setiap pembangunan pastilah dicatata dan diarsipkan oleh pegawai pemerintahan colonial. Apalagi Benteng yang di sebut dengan Loji Klaten ini memiliki  fungsi yang sangat besar yaitu fungsi militer dan fungsi administrasi. Terlebih lagi Klaten terletak di tengah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka segala aktifitas selalu tercatata dengan baik.[2]
Peletakan batu pertama pembangunan Benteng ini dilakukan pada 28 Juli 1804.Pendirian benteng (loji) di desa Klaten dapat dianggap sebagai awal muncul nya sebuah pemerintahan supra desa, karena benteng (loji) merupakan symbol kekuasaan, baik tradisional maupun kolonial. Setelah pembangunan benteng ini Klaten menjadi tempat yang memegang peranan sangat penting.
Berdasarkan pada peristiwa awal munculnya nama Klaten dalam tulisan sejarah  yang dalam hal ini adalah penulisan sejarah Kolonial yang dianggap sebagi penulisan yang lebih ilmia, dan asas kontinuitas peristiwa- peristiwa sejarah yang ada di Klaten dan  dengan  dukungan sumber sejarah tertulis tentang pendirian Benteng Klaten juga menjadi dasar dipilihnya tanggal 28 Juli 1804 sebagai harilahirnya Kabupaten Klaten.

·         Sunan Bayat sebagai Pendiri Kecamatan Bayat kabupaten Klaten.
Bayat adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Klaten. Di kecamatan ini terdapat sebuah makam yang di keramatkan hingga saat ini. Makan itu sering dikunjungi oleh para peziarah . Makam itu adalah makan Ki Ageng Pandanaran.  Ki Anggeng pandanaran inilah yang disebut pendiri kecamatan Bayat.
Menurut cerita Ki Ageng Pandanaran atau yang bernama asli Pangeran Mangkubumi adalah  putra dari Bupati Semarang yang pertama,  Harya Madya Pandan.  Setelah ayahnya meninggal Ia mengantikan kedudukan ayahnya menjadi bupati Semarang yang kedua dengan gelar Ki Ageng Pandaran. Pengangkatan ini merupakan Hasil perundingan antara Hadiwijaya yang merupakan penasehat Kerajaan Demak bersama Sunan Kali jaga.
Ki Angeng Pandanaran dengan keras berusaha melanjutkan kerja keras ayahnya. Ia memerintah dengan baik. Di sela-sela pemerintahanya ia juga menyebarkan Agama Islam dan mengembangkan kegiatan keagamaan seperti membangun pesantren dan mengadakan pengajian. Pemerintahanya dianggap sebagai pemerintahan yang berhasil, rakyat menjadi makmur dan ia banyak dikagumi dan dipuja puja oleh rakyatnya
Pujian-pujian yang diberikan itu membuatnya berubah. Ia menjadi orang yang sombong dan kikir. Ia gemar mengumpulkan kekayaan. Ia lalai menjalankan tugas-tugasnya baik tugas pemerintahan maupun tugas menyebarkan agama. Mengetahui bila sikap Ki Ageng Pnadanaran berubah maka Sunan Kalijaga datang memperingatkanya dengan menyamar sebaik tukang rumput.
Suatu hari Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual rumput datang ke rumah Ki Ageng Pandanaran untuk menawarkan rumput. Di sela-sela menawarkan rumput Sunan Kalijaga selalu menyisipkan nasehar agar tidak terbuai dengan kekayaan dan hal-hal duniawi. Namun bukanya sadar Ki Ageng Pandanaran justru Marah. Sunan Kalijaga dengan sabar selalu datang ke rumah Ki Ageng Pandanaran untuk menasehatinya tapi Ki Ageng Pandanaran tidak kunjung sadar.
Sunan Kalijaga semakin kawatir jika kelakuan Ki Ageng pandanaran akan menjadi semakin parah maka Sunan Kalijaga pun bertekat menunjukan kesaktianya untuk menyadarkan Ki Ageng Pandanaran. Suatu hari Sunan Kalijaga datang ke kediaman Ki Ageng Pandanaran dan mencangkul tanah. Setiap tanah yang dicangkulnya berubah menadi emas. Ki Ageng Pandanaran sangat takjup dengan apa yang dilihatnya. Akirnya penjual rumput itu membukan penyamaranya. Dan betapa terkejutnya Ki Ageng Pandanaran tau jika penjual rumput itu Sunan Kalijaga ia pun bersujud meminta ampun dan bertaubat.
Ki Ageng Pandanaran meminta agar Sunan Kalijaga menerimanya menjadi muridnya dan ia pun diterima menjadi murid. Sunan Kali jaga memerintahkan Ki Ageng Pandanaran untuk menemuinya di gunung Jabalkat dengan meninggalkan semua hartanya. Akirnya Ki Ageng Pandanaran pergi bersama istrinya. Namun istrinya tidak mematuhi perintahnya dan membawa semua perhiasanya didalam tongkatnya.
Dalam perjalanan sang istri selalu tertinggal dibelakang karena terlalu berat membawa tongkat yang berisi perhiasan. Ki Ageng Pandanaran barusadar ketika sang istri berteriak meminta pertolongan dengan berkata “ Kang mas tulung wonten tiang Salah tiga” yang artinya kang mas tolong ada tiga orang perampok.  Ki Ageng Pndanaran menegur para perampok  “ Hai manusia mengapa kamu nekat seperti kambing domba?” Dan seketika itu wajah sang kepala perampok yang bernama Sambangdalan berubah menjadi seperti domba. Mengalami kejadian yang demikian mereka pun bertobat. Namun wajak Sambangdalan tidak dapat berubah . Sambangdalan pun mengikuti Ki Ageng Pandanaran dan menjadi pengikutnya yang kemudian dikenal dengan nama Syehk Domba.
Setelah itu, Ki Ageng Pandanaran bersama sang istri melanjutkan perjalanan. Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di Gunung Jabalkat.Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga.Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga.

            Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan.Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat. Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
·         Tradisi Lisan di Balik Upacara Yoqowiyu.
Yoqowiyu adalah sebuah upacara berupa penyebaran kue apem kepada masyarakat. Upacara ini diadakan setiap hari  Jum’at di Bulan Safar (ada yang menyebutkan tanggal 15 Safar). Upacara ini adalah sebuah penghormatan terhadap Ki Ageng Gribik yang telah menyebarka agama Islam di daerah tersebut.
Ki Ageng Gribik atau yan bernama asli Wasibagno Timur adalah seorang keturunan Raden Brawijaya V dari kerajaan Majapahit.  Ia adalah seorang ulama besar yang sangat di segani di daerah Klaten dan daerah di sekitarnya seperti Boyolali dan Surakarta.  Ki Ageng Gribik adalah ulama yang sangat ahli dalam berdakwah terbukti banyak masyarakat yang awalnya memeluk animisme dinamisme kumudian memeluk agama Islam.
Ki Ageng Gribik adalah orang yang sangat di segani. Ia juga mengenal Sultan Agung Hanyakrakusuma penguasa Mataram dengan baik. Suatu ketika ia juga pernah meredam pemberontakan yang akan dilakukan Adipati Palembang dengan cara halus tidak melukan peperengan dan pertumpahan darah. Karena jasanya tersebut Sultan Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka. Namun dengan Hormat Ki Ageng Gribik menolah permintaan tersebut. Ia ingin tetap fokus untuk menyebarkan agama Islam.
Meskipun menolak, hubungan Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung tetaplah baik, bahka semakin dekat. Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom. Setelah itu ia membangun masjid Alid di daerah tersebut. Tak selang berapa lama Sultan Agung memerintahkanya membangun masjid yang lebih besar yang di sebut dengan Masjid Besar Jatinom.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Ki Ageng Gribik bukanlah orang biasa. Ia memiliki kesaktian untuk berpindah tempat dengan waktu yang singkat. Ia diceritakan ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, ke Makkah al- Mukarromah, dalam waktu singkat.
Pada suatu Jum’at di Bulan Safar Ki Ageng Gribig kembali dari perjalanannya ke Tanah Suci. Ia membawa oleh-oleh, 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai. Bersama sang istri, ia pun kemudian membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat, yang berebutan mendapatkannya.
Sambil menyebarkan kue-kue ini, iapun meneriakkan kata "Ya Qowiyyu", yang artinya "Tuhan, Berilah Kekuatan" atau bisa juga berarti "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)". Secara utuh, Ki Ageng Gribig berucap::Ya qowiyyu qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin”. Yang Artinya, Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua kaum muslimin. Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimim
Penganan ini kemudian dikenal dengan nama apem, saduran dari bahasa Arab "Affan", yang bermakna Ampunan. Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Sejak saat itu, tepatnya sejak tahun 1589 Masehi atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig selalu melakukan hal ini. Ia pun mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom saat itu, agar di setiap Bulan Safar, memasak sesuatu untuk disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan. Amanat inilah yang mentradisi hingga kini di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan "Yaqowiyu".
Menurut kepercayaan warga, apem tersebut sebagai syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani dapat untuk sawahnya, agar tanamannya selamat dari hama. Ada yang percaya bahwa apem tersebut akan membawa rezeki, membawa jodoh, dan lain-lain. Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain.
Pada Kamis siang sebelum apem disebar , apem disusun dalam dua gunungan yaitu  gunungan lanang  dan  gunungan wadon. Ada perbedaan antara gunungan lanang dan wadon. Gunungan wadon  lebih pendek  dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya  terdapat kepala macan putih dan ular. Kedua hewan itu adalah kelangenan  Ki Ageng Gribig. Macan diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig

Penyusunan gunungan itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.



[1] Sejarah kabupaten klaten. Web resmi kabupaten klaten
[2] Sejarah Klaten. 2010. Dinas pariwisata kabupaten Klaten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...