SEJARAH
LISAN DAN TRADISI LISAN
KABUPATEN
KLATEN
Sejarah Lisan Asal Mula Nama Klaten
Kabupaten
Klaten dahulu adalah daerah Swapraja
Surakarta. Sekarang Kabupaten Klaten
merupakan wilayah Eks Karisidenan Surakarta. Kabupaten Klaten memeliki wilayah
yang sangat strategis yaitu diantara dua kota besar yaitu Kota Yogyakarta dan
Kota Surakarta. Secara kultural Klaten merupakan wilayah yang terletak di
Kerajaan Mataram Islam yang kemudian karena Perjanjian Giyanti kerajaan
tersebut terpecah menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta.
Untuk
mengetahui asal mula nama Kabupaten
Klaten hanya di ceritakan melalui mulut kemulut dari orang tua kepada anaknya,
dari guru kepada muridnya. Nama Kabupaten Klaten di ceritakan diambil dari nama
Kyai Melati Sekolekan yang merupakan orang yang sangat berjasa membuat daerah
yang awalnya hutan menjadi sebuah perkampungan yang aman dan tentram sehingga
banyak orang yang datang kedaerah tersebut. Berikut cerita tentang asal mula
nama Klaten.
Konon
menurut cerita, Daerah Klaten kota dahulu adalah sebuah hutan belantara atau
yang biasa di sebut alas dalam bahasa
Jawanya. Di daerah ini ada seorang
pemuda yang bernama Melati Sekolekan yang sedang mengembara dan tinggal untuk
beberapa waktu lamanya. Diceritakan Melati Sekolekan adalah seseorang yang
sangat sakti ilmunya dan sangat di takuti di daerah tersebut. Menurut tradisi
zaman dahulu, seseorang selalu ingin mengambara mencari kesaktian dan mengadu kesaktianya dengan orang lain untuk
medapakan gelar dan di hormati. Begitu pula Melati Sekolekan yang selalu ingin
mengadu kesaktiaanya saat bertemu orang dalam pengembaraanya.
Setiap
mengembara dan bertemu orang yang dirasanya memiliki kemampuan lebih, Melati
Sekolekan selalu menantangnya berkelahi. Banyak orang yang sudah bertarung
dengan dia dan banyak orang yang mengakui kesaktianya. Suatu
Ketika sunan Kalijaga, salah satu dari ulama dari Demak yang menyebarkan agama
Islam di Jawa atau yang sering disebut dengan Walisongo melintasi tempat itu
dan bertemu dengan Melati Sekolekan.
Seperti
biasa jika bertemu dengan seorang pengembara Melati Sekolekan selalu ingin
menantang beradu kesaktian, Begitu pula
saat bertemu dengan Sunan Kalijaga yang melintasi tempat itu. Dengan sedikit
arogan Melati Sekolekan mengajak Sunan kalijaga bertanding. Namun akirnya
pertarungan di menangkan oleh Sunan Kalijaga.
Melati
Sekolekan merasa ilmu dan kesaktianya masih jauh dibawah Sunan Kalijaga, Oleh
karena itu ia memohon kepada Sunan Kalijaga, Agar Sunan Kalijaga mau
mengangkatnya menjadi murid. Sunan Kalijaga dengan penuh kebijaksanaan pun
memaafkan sikap arogan Melati dan akirnya mengabulkan keinginan Melati
Sekolekan ddan menjadikanya Murid. Dan
Melati Sekolekan pun memeluk agama Islam.
Dengan
belajar beberapa ilmu agama dan ilmu untuk menjaga diri akirnya Melati
Sekolekan menjadi orang yang berbudi sangat baik selain itu ia juga dikenal
sebagai orang yang sakti. Oleh karena itu orang-orang di pedukuhan tempat ia
tinggal menyebutnya sebai Kyai Melati Sekolekan. Karena Ilmu agama yang ia
kuasai dari hasil bergutu pada sunan kalijaga dan kesaktianya pedukuhan yang di
tinggalinya mejadi tentram dan aman. Para penjahat tidak mau melewati tempat
itu karena segan dengan Kyai Melati Sekolekan.
Maka
dalam waktu yang singkat darah tempat tinggal Kyai Melati Sekolekan menjadi
daerah yang sangat ramai. Bagi warga Kyai Melati Sekolekan adalah sosok yang
sangat di cintai rakyat. Hingga akhir hayatnya ia selalu mengabdi untuk rakya.
Warga sangat kehilangan sosoknya. Maka untuk mengenang kepergian Kyai Melati
Sekolekan Warga menamai desa mereka dengan nama Klaten. Nama Klaten diambil dari Nama Melati. Karena
orang Jwa susah menyebutnya makan sering terjadi perubahan pengucapan menjadi
Klaten. Sedangkan nama Belakang Kyai
Sekolekan diambil untuk dijadikan nama desa tempat jenazah Kyai Melati Sekolekan di kebumikan.
·
Munculnya
Kabupaten Klaten berdasarkan catatan tertulis
Telah
di uraikan diatas cerita bagaimana asal mula nama kabupatenn Klaten yang di
ceritakan dari mulut kemulut. Namun dari sumber tertulis seperti prasasti dan
sumber-sumber lain seperti candi menunjukan jika jauh sebelum muncul suatu
kesatuan geopolitik yang bernama Klaten yang diambil dari nama Kyai Melati
Sekolekan. Wilayah Klaten merupakan wilayah pendukung peradaban Hindu- Buddha
di Indonesia.
Klaten
merupakan daerah yang sudah sejak lama di tinggali penduduk. Bahkan sejak jaman
Hindu-Buddha. Pada masa Hindu-Budha Klaten memegang peranan yang cukup besar.
Pada zaman itu Klaten masuk kedalam Kerajaan Mataram kuno sebelum berpindah ke
jawa timur. Banyak bukti sejarah yang ditemukan di Klaten misalnya candi,
prasasti, dan benda-benda dari logam. Selain itu ada beberapa nama daerah yang
keberadaanya dapat di telusuri dan memiliki kedekatan penamaan dengan nama
daerah pada zaman kerajaan seperti seperti Puluwatu (Sekarang Desa Puluh Watu),
Gumulan (Desa Gumulan, Kalikotes), Wadihati (DesaWedi), Mirah-Mirah (Desa
Muruh) dan Upit (Ngupit Kecamatan Ngawen). Hal ini menunjukan peranan Klaten
dalam peradaban Hindu-Buddha. Selain itu juga terdapat prasasti yang
dapat menguak peranan Kabupaten Klaten dalam peradaban yaitu prasasti Upit yang
dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi sebagai bukti pendirian desa Upit sebagai desa
pardikan dengan bertanggal 11
Nopember 866 masehi
Pada
masa kerajaan Islam seperti Mataram, Pajang dan Demak, daerah Klaten termasuk
kedalam daerah Negaragung atau Negara
Agung. Banyak kisah-kisah tentang Klaten
yang terdokumentasikan baik dalam bentuk babad seperti babad tanah jawa maupun
babad mataran juga dalam cerita-cerita rakyat yang di sampaikan secara lisan.
Namun hingga akir abad 18 belum ada penyebutan nama Klaten secara resmi.[1]
Penyebutan
Klaten secara resmi barulah dimulai pada saat pemerintahan colonial membangun membangun
sebuah benteng atau dalam bahasa daerah setempat disebut dengan Loji di desa tersebut. Benteng ini
dimaksudkan sebagai pusat kekuasaan pemerintahan colonial. Karena setiap
pembangunan pastilah dicatata dan diarsipkan oleh pegawai pemerintahan
colonial. Apalagi Benteng yang di sebut dengan Loji Klaten ini memiliki fungsi
yang sangat besar yaitu fungsi militer dan fungsi administrasi. Terlebih lagi
Klaten terletak di tengah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta, maka segala aktifitas selalu tercatata dengan baik.[2]
Peletakan
batu pertama pembangunan Benteng ini dilakukan pada 28 Juli 1804.Pendirian benteng
(loji) di desa Klaten dapat dianggap sebagai awal muncul nya sebuah
pemerintahan supra desa, karena benteng (loji)
merupakan symbol kekuasaan, baik tradisional maupun kolonial. Setelah
pembangunan benteng ini Klaten menjadi tempat yang memegang peranan sangat
penting.
Berdasarkan pada
peristiwa awal munculnya nama Klaten dalam tulisan sejarah yang dalam hal ini adalah penulisan sejarah
Kolonial yang dianggap sebagi penulisan yang lebih ilmia, dan asas kontinuitas
peristiwa- peristiwa sejarah yang ada di Klaten dan dengan
dukungan sumber sejarah tertulis tentang pendirian Benteng Klaten juga
menjadi dasar dipilihnya tanggal 28 Juli 1804 sebagai harilahirnya Kabupaten
Klaten.
·
Sunan
Bayat sebagai Pendiri Kecamatan Bayat kabupaten Klaten.
Bayat
adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Klaten. Di kecamatan ini
terdapat sebuah makam yang di keramatkan hingga saat ini. Makan itu sering
dikunjungi oleh para peziarah . Makam itu adalah makan Ki Ageng
Pandanaran. Ki Anggeng pandanaran inilah
yang disebut pendiri kecamatan Bayat.
Menurut
cerita Ki Ageng Pandanaran atau yang bernama asli Pangeran Mangkubumi
adalah putra dari Bupati Semarang yang pertama, Harya Madya Pandan. Setelah ayahnya meninggal Ia mengantikan
kedudukan ayahnya menjadi bupati Semarang yang kedua dengan gelar Ki Ageng
Pandaran. Pengangkatan ini merupakan Hasil perundingan antara Hadiwijaya yang
merupakan penasehat Kerajaan Demak bersama Sunan Kali jaga.
Ki Angeng Pandanaran dengan keras berusaha
melanjutkan kerja keras ayahnya. Ia memerintah dengan baik. Di sela-sela
pemerintahanya ia juga menyebarkan Agama Islam dan mengembangkan kegiatan keagamaan
seperti membangun pesantren dan mengadakan pengajian. Pemerintahanya dianggap
sebagai pemerintahan yang berhasil, rakyat menjadi makmur dan ia banyak
dikagumi dan dipuja puja oleh rakyatnya
Pujian-pujian yang diberikan itu membuatnya
berubah. Ia menjadi orang yang sombong dan kikir. Ia gemar mengumpulkan
kekayaan. Ia lalai menjalankan tugas-tugasnya baik tugas pemerintahan maupun
tugas menyebarkan agama. Mengetahui bila sikap Ki Ageng Pnadanaran berubah maka
Sunan Kalijaga datang memperingatkanya dengan menyamar sebaik tukang rumput.
Suatu hari Sunan Kalijaga yang menyamar
sebagai penjual rumput datang ke rumah Ki Ageng Pandanaran untuk menawarkan
rumput. Di sela-sela menawarkan rumput Sunan Kalijaga selalu menyisipkan
nasehar agar tidak terbuai dengan kekayaan dan hal-hal duniawi. Namun bukanya
sadar Ki Ageng Pandanaran justru Marah. Sunan Kalijaga dengan sabar selalu
datang ke rumah Ki Ageng Pandanaran untuk menasehatinya tapi Ki Ageng
Pandanaran tidak kunjung sadar.
Sunan Kalijaga semakin kawatir jika kelakuan
Ki Ageng pandanaran akan menjadi semakin parah maka Sunan Kalijaga pun bertekat
menunjukan kesaktianya untuk menyadarkan Ki Ageng Pandanaran. Suatu hari Sunan
Kalijaga datang ke kediaman Ki Ageng Pandanaran dan mencangkul tanah. Setiap
tanah yang dicangkulnya berubah menadi emas. Ki Ageng Pandanaran sangat takjup
dengan apa yang dilihatnya. Akirnya penjual rumput itu membukan penyamaranya.
Dan betapa terkejutnya Ki Ageng Pandanaran tau jika penjual rumput itu Sunan
Kalijaga ia pun bersujud meminta ampun dan bertaubat.
Ki Ageng Pandanaran meminta agar Sunan
Kalijaga menerimanya menjadi muridnya dan ia pun diterima menjadi murid. Sunan
Kali jaga memerintahkan Ki Ageng Pandanaran untuk menemuinya di gunung Jabalkat
dengan meninggalkan semua hartanya. Akirnya Ki Ageng Pandanaran pergi bersama
istrinya. Namun istrinya tidak mematuhi perintahnya dan membawa semua
perhiasanya didalam tongkatnya.
Dalam perjalanan sang istri selalu tertinggal
dibelakang karena terlalu berat membawa tongkat yang berisi perhiasan. Ki Ageng
Pandanaran barusadar ketika sang istri berteriak meminta pertolongan dengan
berkata “ Kang mas tulung wonten tiang Salah tiga” yang artinya kang mas tolong
ada tiga orang perampok. Ki Ageng
Pndanaran menegur para perampok “ Hai
manusia mengapa kamu nekat seperti kambing domba?” Dan seketika itu wajah sang
kepala perampok yang bernama Sambangdalan berubah menjadi seperti domba.
Mengalami kejadian yang demikian mereka pun bertobat. Namun wajak Sambangdalan
tidak dapat berubah . Sambangdalan pun mengikuti Ki Ageng Pandanaran dan
menjadi pengikutnya yang kemudian dikenal dengan nama Syehk Domba.
Setelah itu, Ki Ageng Pandanaran bersama sang
istri melanjutkan perjalanan. Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di
Gunung Jabalkat.Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga.Sejak
itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga.
Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan.Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan.Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran
juga mengajarkan cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada
penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir
hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat
atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit
Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten.
·
Tradisi Lisan di Balik Upacara Yoqowiyu.
Yoqowiyu
adalah sebuah upacara berupa penyebaran kue apem kepada masyarakat. Upacara ini
diadakan setiap hari Jum’at di Bulan
Safar (ada yang menyebutkan tanggal 15 Safar). Upacara ini adalah sebuah
penghormatan terhadap Ki Ageng Gribik yang telah menyebarka agama Islam di
daerah tersebut.
Ki
Ageng Gribik atau yan bernama asli Wasibagno Timur adalah seorang keturunan
Raden Brawijaya V dari kerajaan Majapahit.
Ia adalah seorang ulama besar yang sangat di segani di daerah Klaten dan
daerah di sekitarnya seperti Boyolali dan Surakarta. Ki Ageng Gribik adalah ulama yang sangat ahli
dalam berdakwah terbukti banyak masyarakat yang awalnya memeluk animisme
dinamisme kumudian memeluk agama Islam.
Ki
Ageng Gribik adalah orang yang sangat di segani. Ia juga mengenal Sultan Agung
Hanyakrakusuma penguasa Mataram dengan baik. Suatu ketika ia juga pernah
meredam pemberontakan yang akan dilakukan Adipati Palembang dengan cara halus
tidak melukan peperengan dan pertumpahan darah. Karena jasanya tersebut Sultan
Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka. Namun
dengan Hormat Ki Ageng Gribik menolah permintaan tersebut. Ia ingin tetap fokus
untuk menyebarkan agama Islam.
Meskipun
menolak, hubungan Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung tetaplah baik, bahka semakin
dekat. Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang
bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama
dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom. Setelah itu ia membangun
masjid Alid di daerah tersebut. Tak selang berapa lama Sultan Agung
memerintahkanya membangun masjid yang lebih besar yang di sebut dengan Masjid
Besar Jatinom.
Menurut
cerita yang berkembang di masyarakat Ki Ageng Gribik bukanlah orang biasa. Ia
memiliki kesaktian untuk berpindah tempat dengan waktu yang singkat. Ia
diceritakan ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, ke
Makkah al- Mukarromah, dalam waktu singkat.
Pada suatu
Jum’at di Bulan Safar Ki Ageng Gribig kembali dari perjalanannya ke Tanah Suci.
Ia membawa oleh-oleh, 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan
kepada penduduk, jumlahnya tak memadai. Bersama sang istri, ia pun kemudian
membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk
setempat, yang berebutan mendapatkannya.
Sambil
menyebarkan kue-kue ini, iapun meneriakkan kata "Ya Qowiyyu", yang artinya
"Tuhan, Berilah Kekuatan" atau bisa juga berarti "Allah Yang
Maha Perkasa (Kuat)". Secara utuh, Ki Ageng Gribig berucap::Ya qowiyyu
qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin”. Yang Artinya,
Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua
kaum muslimin. Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau
memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimim
Penganan
ini kemudian dikenal dengan nama apem, saduran dari bahasa Arab "Affan",
yang bermakna Ampunan. Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada
Sang Pencipta. Sejak saat itu, tepatnya sejak tahun 1589 Masehi atau 1511 Saka,
Ki Ageng Gribig selalu melakukan hal ini. Ia pun mengamanatkan kepada
masyarakat Jatinom saat itu, agar di setiap Bulan Safar, memasak sesuatu untuk
disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan. Amanat inilah yang mentradisi
hingga kini di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan
"Yaqowiyu".
Menurut kepercayaan warga, apem
tersebut sebagai syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani dapat untuk
sawahnya, agar tanamannya selamat dari hama. Ada yang percaya bahwa apem
tersebut akan membawa rezeki, membawa jodoh, dan lain-lain. Bahkan, ada yang
percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan
memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit,
atau pertunjukan tradisional yang lain.
Pada Kamis siang sebelum apem
disebar , apem disusun dalam dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon. Ada perbedaan
antara gunungan lanang dan wadon.
Gunungan wadon lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular. Kedua
hewan itu adalah kelangenan Ki Ageng Gribig. Macan
diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan
ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig
Penyusunan gunungan itu juga ada
artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat
dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu
terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat
sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti
mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar ! Terimakasih...